Minggu, 01 Desember 2013

politik dinasti

Apakah wajar apabila jabatan seorang kepala pemerintahan diteruskan oleh istri, anak , atau kerabat dekatnya? Di negara kita sedang terjadi praktek penerusan kekuasaan pada orang-orang terdekat. Politik dinasti adalah fenomena politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Dinasti politik yang dalam bahasa sederhana dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik  atau aktor politik yang dijalankan secara turn-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang jarang sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal pada prakteknya dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih dalam perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dinasti politik sebenarnya adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun pada masyarakat yang meniru gaya barat. Hal ini dapat terlihat dalam perpolitikan di Amerika dan juga di Filipina. Dinasti politik tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada hakikatnya dynast politik juga tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga masyarakat monarki, dimana pada system monarki sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra mahkota dalam kerajaan tersebut.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya sudah muncul di dalam keluarga Presiden pertama Indonesia, Preseiden Soekarno. Hal tersebut terbukti dari lahirnya anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang politisi. Seperti Megawati Soekarno Putri (yang akhir-akhir ini juga semakin memperlihatkan gejala kedinastian politik Indonesia pada diri anaknya –Puan Maharani), Guruh Soekarno Putra, dll. Dalam tatanan kontempoerer, dinasti politik juga sekarang terlihat muncul pada diri keluarga mantan Presiden Indonesia Alm K.H. Abdurrahman Wahid, dengan munculnya saudara-sudara kandungnya dan juuga anak kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia. Kecenderungan dinasti politik juga ditunjukkan dalam keluarga Presiden Indonesia saat ini Susilo Bambang Yudhoyono, yang ditunjukkan dengan kiprah anaknya Eddie Baskoro yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009/2014.
Etika adalah sesuatu yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai sesuatu yang baik dan yang buruk.  Ada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, nilai tentang sesuatu yang pantas untuk dilakukan dan tidak pantas untuk dilakukan. Bila dianalisis dari segi etika, politik dinasti tidak baik apabila dilakukan oleh elit politik.
Kalau seseorang elit politik maju dengan mengandalkan politik dinastinya dan dengan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terus merosot. Rakyat akan menilai ternyata bangsa ini di zaman reformasi dibangun dengan sistem nepotisme. Pembentukan politik dinasti akan menciptakan tatanan politik yang tak sehat. Walaupun menurut undang-undang hal itu tak dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai dengan etika.
Menurut Zulkieflimansyah, apabila politik dinasti ini diteruskan, akan muncul banyak dampak negatif. Pertama, menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan masih keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.
Adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana resmi ditahan dan digelandang ke rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Wawan diduga menyuap Ketua MK Akil Mochtar terkait perkara sengketa Pilkada Lebak, Banten.
Penangkapan ini semakin menguatkan dugaan korupsi dalam dinasti politik yang dibangun Ratu Atut. Bicara soal dinasti, sudah menjadi cerita lama sejumlah anggota keluarga Ratu Atut tercatat menduduki posisi strategis di lingkungan Pemprov Banten dan juga di lembaga legislatif, baik di tingkat provinsi maupun pusat, telah menimbulkan debat hangat soal praktik politik dinasti dan dinasti politik. Dinasti politik Ratu Atut disorot tajam karena dianggap melanggengkan kembali praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah digusur oleh reformasi. Ratu Atut sendiri telah diperiksa oleh KPK terkait kasus suap Akil.
Namun, terlepas dari kasus hukum yang tengah dihadapi salah satu kerabat gubernur Banten itu, kita sebaiknya jangan cepat menjatuhkan palu godam bahwa itu adalah khas dinasti politik Ratu Atut. Sejujurnya, politik dinasti dan dinasti politik bukan hanya fenomena Ratu Atut di Banten. Praktik politik yang kental dengan sistem kekerabatan (kroniisme dan nepotisme), adalah fenomena umum Indonesia sejak pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung mulai digelar pada 2005. Anak dan istri yang menggantikan ayah dan suami mereka untuk memimpin daerah sejak lama sudah menjadi cerita umum.
Kementerian Dalam Negeri bahkan telah mencatat setidaknya ada 57 pergantian kepala daerah petahana, yang berputar hanya dalam satu garis keturunan: dari suami ke istri, ayah ke anak, kakak ke adik atau keponakan, dan seterusnya. Atau, jika sang kakak atau suami berada pada posisi sebagai gubernur, sang adik atau keponakan yang bertarung dalam pemilihan bupati akan dengan mudah meraih jabatan tersebut. Hampir di semua ajang pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa tugasnya sebagai kepala daerah, maka sang istri seolah-olah "terpanggil" ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam politik.
Sebut saja contoh keluarga Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ichsan Yasin Limpo, yang kini Bupati Gowa adalah adik kandung sang gubernur. Di Sulawesi Utara, ada Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang yang adalah putra Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang. Wali Kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Andar Amin Harahap adalah anak Bupati Padang Lawas Bachrum Harahap. Masih ada sederetan panjang daftar pimpinan daerah yang berganti kedudukan karena pola kekerabatan yang begitu kental.
Itu pada lingkaran kekuasan eksekutif. Pada lingkaran kekuasaan legislatif, praktik yang sama juga marak terjadi. Adalah hal umum bahwa ayah yang gubernur atau bupati bisa dengan bersemangat mendorong sang istri atau putra-putrinya untuk bertarung dan merebut kursi di DPR atau DPRD.
Berikut anggota keluarga Ratu Atut yang menduduki posisi strategis:
1. Suami Ratu Atut, Hikmat Tomet merupakan Ketua DPD Partai Golkar Banten. Kini duduk sebagai anggota Komisi V DPR. Hikmat kembali mengikuti pencalegan untuk Pemilu 2014 dari dapil Banten 2 (Kabupaten Serang, Kota Serang dan kota Cilegon)
2. Anak pertama Ratu Atut, Andika Hazrumy berstatus anggota DPD yang kini mencalonkan diri sebagai anggota DPR di dapil Pandeglang-Lebak.
3. Adik Andika, yakni Andiara Aprilia Hikmat kini mencalonkan diri sebagai anggota DPD
4. Menantu Ratu Atut, istri Andika, yakni Ade Rosi Khaerunissa menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Serang. Dia pun mendaftar sebagai caleg DPRD Banten dari Partai Golkar
5. Kakak kandung Ratu Atut, Tatu Chasanah merupakan Wakil Bupati Serang
6. Kakak tiri Ratu Atut, Haerul Jaman adalah Walikota Serang
7. Adik ipar Ratu Atut, Airin Rachmi Diany merupakan Walikota Tangerang Selatan
8. Ibu tiri Ratu Atut, Heryani menjabat sebagai Bupati Pandeglang.
Tapi, di manakah letak persoalan sesungguhnya dan mengapa hal itu sampai terjadi? Itulah dampak samping dari reformasi politik yang tak diimbangi oleh reformasi hukum dan perundang-undangan. Reformasi bidang politik bergerak begitu cepat seperti meteor, tapi sebaliknya, reformasi bidang hukum dan perundang-undangan berjalan lamban seperti siput.
Hukum sangat lemah, tidak hanya dilihat dari sisi produk, tapi juga pengawasannya di lapangan. Dari sisi produk, tak sedikit undang-undang yang dihasilkan pemerintah dan DPR harus diuji-materikan di Mahkamah Konsitusi hanya karena sejumlah pasalnya tak sinkron atau bahkan bertentangan dengan isi konstitusi. Begitu pula banyak UU yang dihasilkan ternyata isinya bertentangan antara satu dengan lain.
Produk hukum dan perundang-undangan yang lemah ini dimanfaatkan secara cerdas oleh mereka yang memang sudah punya syahwat kekuasaan yang besar. Kelemahan hukum di satu sisi dan kebebasan berpolitik yang begitu luas di sisi lain, juga menjadi celah yang dimanfaatkan dengan amat baik oleh para aktor politik yang memiliki segala akses untuk meraih uang dan menggapai kekuasaan. Lahirlah kemudian praktik politik dinasti yang--dengan jaringannya yang kuat--menjalani politik balas budi, politik uang, dan politik melanggengkan kekuasaan.
Sialnya, dari situlah lahirlah praktik-praktik politik yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lihatlah dinasti politik Ratu Atut di Banten dan dinasti-dinasti politik lainnya di Indonesia. Dengan banyak uang di tangan, mereka bisa dengan mudah membeli kekuasaan dengan memanipulasi suara.
Demi sehatnya kehidupan berbangsa dan bernegara, dan demi lahirnya pemimpin negara dan daerah yang berintegritas, praktik-praktik seperti itu harus segera dihentikan. Itu semua harus dimulai dengan mengubah dan menyehatkan produk hukum dan perundang-undangan. Produk hukumlah yang harus mendorong dan memastikan bahwa kekuasaan tidak boleh dibangun atas dasar hubungan kekerabatan, tapi didasarkan pada kualifikasi yang dimiliki seseorang, yakni kompetensi, kapabilitas, integritas, dan moralitas yang dimilikinya.
Sosok-sosok pemimpin daerah berkualitas sepert itu hanya bisa dihasilkan melalui pilkada yang bebas, jujur, adil, bersih, serta diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bebas dari kepentingan politik dan uang. Sekali lagi, ini hanya bisa tercipta melalui penguatan produk hukum disertai penegakan dan pelaksanaannya yang ketat di lapangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar