“ In, jujur saja aku sudah sejak dua tahun lalu memperhatikanmu. Ada perasaan senang saat aku menatap wajahmu. Bagaimana menurutmu?” Siang itu begitu panas, aku berjalan sendiri awalnya menuju tempat parkir sepeda. Entah mengapa tiba-tiba saja seorang lelaki berjalan beriringan dengan aku. Irfan. Ya, Irfanlah lelaki itu. Seorang lelaki yang selama dua tahun ini satu kelas bersamaku. Setelah aku mendengar dia berkata semua yang ingin dikatakannya kepadaku langkahku sertamerta terhenti secara tiba-tiba. Aku mendongak mencoba menatap Irfan dengan ragu. Tapi kemudian aku tertunduk sebentar dan kembali berjalan pelan di samping Irfan.
“ Kenapa Fan? Kau tau kan dua minggu lagi kita akan ujian? Aku butuh waktu untuk menjawab pertanyaanmu. Besok aku akan menjawab pertanyaanmu itu.” Aku mencoba membuat suaraku setenang mungkin agar tak terdengar menyinggungnya. Aku mampu merasakan tubuh Irfan berhenti bergerak di sampingku, seakan dia tercengang dengan jawabanku. Aku mendengar desahan keras dari arah Irfan berdiri. Aku menoleh sebentar dan aku mendapati tatapan Irfan yang lekat dengan kecewa, tapi penuh dengan harap.
Di perjalanan pulang perkataan Irfan masih terngiang di pikiranku. Entah berapa kali sudah aku merasa diriku linglung. Mungkin sudah dua kali lebih aku hampir mengayuh sepedaku ke tengah jalan.
“ Kau kenapa In? Tidak biasanya kau seperti ini. Ada yang bisa aku bantu sebagai sahabatmu?” Dia adalah Dewi sahabat karibku dari dulu. Lamunanku tentang perkataan Irfan buyar sudah. Aku menoleh menatap Dewi dengan tatapan menyerah. Walau aku tahu Dewi akan terus bertanya tentang sikapku, tapi aku ragu dengan diriku sendiri akan kebenaran yang terjadi. Akupun hanya memaksakan seulas senyum kepada Dewi.
Inka itulah aku. Umurku baru oktober kemarin menginjak 18 tahun. Aku anak sulung di keluargaku. Sekolahku lumayan terfavorit di kotaku. Selama lebih dari dua tahun terakhir sebelum umurku 18 tahun aku tak mempercayai tentang cinta atau apapun yang berbau dunia percintaan. Tapi hadirnya Irfan membuatku berfikir kembali dengan berbagai keputusan yang harus aku ambil. Mempertimbangkan semua aspek dari banyak segi pandang untuk sekedar memberikan jawaban kepadanya. Hal tersebutlah yang membuatku menjauh dari dunia percintaan. Itu semua hanya membuat diriku semakin terbebani.
Tiga puluh menit setelah aku sampai di rumah, tiba-tiba saja pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Saat aku beranjak berdiri, aku terduduk kembali setelah aku mendengar suara seorang lelaki sedang berbicara. Aku mengira itu adalah tamu ibuku atau ayahku. Ternyata dugaanku meleset. Yang datang adalah tamu untukku, tapi siapa? Temankah? Aku seharian ini tak mempunyai satupun janji dengan seorang teman. Aku merasakan sendiri langkah kakiku tersendat tak menentu kearah ruang tamu. Aku bisa merasakan mataku yang terbelalak karena kaget. Tubuhku kaku tak karuan bentuknya.
“Dia sungguh tidak sabaran, kenapa harus datang kerumahku segala? Bukankah aku tadi mengatakan akan menjawab perkataannya besok.” Hanya itu kata-kata yang mampu aku utarakan dalam hati.
Aku sendiri memaksa diriku duduk disebelahnya. Aku tahu keputusan Irfan untuk datang kerumahku hanya untuk meminta jawaban dariku. Aku termenung begitu lama menyiapkan rangkaian kalimat yang akan aku lontarkan kepada Irfan. Aku melihat Irfan dari balik bulu mataku menoleh kearahku. Aku menyesal saat kedua mataku bertemu pandang dengan matanya. Dalam mata itu terpancar harapan yang begitu besar untuk aku pertimbangkan, seandainya saja aku tadi tidak memandangnya mungkin sorot mata itu tak akan menjadi pengecualian untuk aku agar tetap menolaknya.
“ Ehm, In aku meminta jawabanmu lebih awal daripada seharusnya. Bolehkah?” Irfan bertanya begitu tulus dan polos . Aku tahu Irfan bukanlah tipe cowok yang tergolong playboy, seharusnya tidak ada alasan untuk gadis seperti aku menolaknya. Dia begitu sempurna.
“Irfan, aku dulu saat satu kelas denganmu memang tidak begitu mengenalmu dengan baik, aku hanya ingin mengenalmu dengan baik dahulu baru aku memutuskan jawaban pasti yang akan aku berikan untukmu.” Aku mampu melihat sorot wajah berharapnya memudar begitu cepat.
“Aku membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Lagipula dengan kesempurnaanmu kau pasti bisa memilih seseorang yang lebih baik daripada aku Fan.”
“Mungkin aku bisa In, tapi aku tak bisa.” Dengan satu sentakan tangan Irfan beranjak berdiri dan meninggalkan rumahku. Dengan satu tanganku aku mencoba meraih tangannya dan menghentikannya untuk sebelum pergi.
“ Tapi bukan maksud aku untuk menolakmu Irfan. Kalau kita berdua mampu, kita jalani dulu hubungan yang ada sampai kita benar-benar tahu satu sama lain. Namun aku sendiri belum yakin dengan diriku Fan.” Aku terlonjak kaget dan lupa bagaimana caranya bernafas dengan benar. Irfan begitu cepat menarik aku dalam pelukannya. Dalam keadaan ini entah mengapa aku tahu dan mampu merasakan dengan yakin kalau Irfan memang menyayangiku dengan tulus.
Sejenak setelah kepergian Irfan dari rumahku aku tersentak begitu hebatnya dengan kabar yang baru saja aku terima. Entah siapa orang yang menelfonku secara tiba-tiba itu. Orang itu mengaku Rendra. Aku merasa pundakku begitu berat baru saja beberapa jam yang lalu aku resmi menjadi kekasih Irfan, tapi kabar itu seakan menjadi bumerang yang menghancurkan semuanya. Aku merasa airmataku menetes tak henti dari pelupuk mataku sendiri.
“ Cepatlah datang kerumah sakit Tirta Abadi, dia membutuhkanmu.” Perkataan itu, ucapan itu dan sebaris kalimat itulah yang membuat aku menitikkan airmata. Pandanganku seakan kabur, aku tak tahu akankah aku masih mampu menghadapi kenyataan nanti tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Irfan di rumah sakit. Dengan perasaan yang tak menentu aku mengarah ke rumah sakit. Gedung putih yang berbau obat itu menyambutku dengan angkuhnya. Aku berjalan tak tentu arah mencari posisi Rendra sekarang. Di sudut belokan aku melihat Dewi yang lebih dulu ada di ruang tunggu di depan sebuah ruangan, aku terpaku menatap Dewi, dia berurai air mata begitu deras. Selain Dewi aku juga mampu melihat orang tua Irfan dan seorang pria berdiri bersedekap dan bersandar pada tembok dengan wajah menanti-nanti sesuatu.
Oh tidak, aku tahu sekarang apa yang terjadi, yang mereka nantikan adalah Irfan. Irfan yang ada di dalam ruangan ICU itu. Aku bergidik membayangkan apa yang sebenarnya terjadi dengan Irfan. Begitu banyak pemikiran-pemikiran negatif tentang bagaimana caranya Irfan bisa sampai masuk rumah sakit. Aku berjalan gontai menuju kursi tunggu ruangan itu. Aku berjalan kearah Dewi dengan mata nanar penuh dengan airmata. Aku berusaha bersikap tegar dalam situasi ini. Aku memberanikan diri duduk bersebelahan dengan Dewi yang masih menangis.
“ Dew, apa yang terjadi sebenarnya? Lantas kenapa Irfan ada di dalam ruangan itu? Jelaskan padaku Wi.” Aku meminta dengan suara tersendat. Dewi menoleh menatapku sesaat. Dia meraihku dan memelukku dengan erat. Terdengar isakan tangis yang lebih keras dari sebelumnya.
“ In, tadi apakah irfan menemuimu dirumah?”.
“Iya dia datang kerumahku sekitar lima jam yang lalu, kenapa?”. Dewi melepas pelukannya dariku dia menatapku tepat pada kedua mataku.
“ Kau tahu In, sebenarnya butuh banyak pengorbanan yang dia lakukan hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa kau mau menjadi kekasihnya. Tapi setelah pulang sekolah tadi Irfan tak begitu sehat. Kau tahu mengapa dia ada di rumah sakit ini? Dia mengidap penyakit kronis. Kanker paru-paru stadium tiga akhir dan hari ini dia dinyatakan kritis.” Aku merasakan tubuhku menegang mendengar penjelasan Dewi. Mengapa selama dua tahun terakhir saat aku satu kelas dengannya tak begitu kentara kalau dia sakit. Yang aku bisa lakukan hanyalah mendekap erat mulutku. Aku tak mampu berkata apapun saat itu. Setitik air mata kembali menetes dari mataku.
“ Hanya demi mendapat kepastian darimu In, dia merelakan dirinya lebih sakit lagi. Dia begitu bodoh menyia-nyiakan hidupnya yang tersisa hanya untuk jawabanmu. Dia nekat pergi menemuimu, walau kami dan para perawat sudah mencoba menghalangi niatnya. Dan apa akhirnya, dia hanya tergeletak tak berdaya di dalam sana.” Dewi kembali tersedu begitu hebatnya, aku tahu dewi adalah teman baik Irfan juga. Aku juga mengerti jika dia memang terpukul dengan keputusan Irfan yang bodoh. Aku merasa disini akulah yang harus disalahkan. Lamunanku beranjak ke saat sebelum aku duduk diruang tunggu rumah sakit ini. Betapa irfan begitu terlihat sangat sehat di depanku. Betapa dengan lembutnya dan dengan eratnya irfan mendekap tubuhku dalam pelukannya. Sungguh Irfan bodoh. Mengapa di depanku dia begitu sehat.
Saat aku tahu lampu ruang ICU padam dan dokter sudah keluar aku berdiri dan menghampirinya.
“ Irfan bagaimana dok?” Tanya lelaki yang bersandar tadi yang aku tahu dia adalah Rendra. Rendra adalah kakak Irfan, tapi hanya kakak sepupu dari keluarga tertua ibunya.
“ Kondisinya semakin parah. Setelah keputusannya memaksakan diri bergerak terlalu banyak hari ini kanker itu semakin bebas menyakiti organnya. Ma’afkan kami, jika masa kritisnya tidak bisa terlewati dengan baik kesempatan untuk bertahan terlalu rendah bagi Irfan. Kami sudah berusaha semampu kami.”
“ Tapi dok, sudah bolehkah kami masuk?”.
“ Untuk saat ini hanya dua orang yang boleh masuk ke dalam ruangan.” Tanpa ada komando apapun Rendra menyeretku masuk. Aku terperangah sekejap kemudian. Sesampainya di dalam ruangan aku menghentakkan tanganku agar terlepas dari Rendra. Aku memandang getir kearah wajah Irfan yang lemah diatas tempat tidur ruangan itu.
“Irfan, kau harus bertahan. Setidaknya cobalah bertahan dan lihatlah aku membawanya kemari sesuai permintaanmu tadi.” Aku menoleh kearah Rendra yang juga menatapku. Kemudian kembali ke Irfan. Aku melihat Irfan membuka mata perlahan. Aku kaget saat tanganku sendiri bergerak menyusuri wajah Irfan dan berhenti di pipi Irfan.
“Kamu bodoh Fan, hidupmu lebih berarti daripada apapun. Bodoh.” Aku menyandarkan wajahku di pinggiran tempat tidur. Aku melihat jawaban dari perkataanku tadi. Hanya senyum simpul kecil dari Irfan. Dengan tangan yang tak di infus Irfan meraih tanganku, tangan yang ada di pipinya, dan juga tangan Rendra yang ada di samping tubuhnya yang lain. Irfan menyatukan kedua tangan kami dalam satu tautan.
“ Aku memang bodoh Inka, aku lebih pengecut daripada yang aku tahu. Untuk kali ini aku ingin menyatukan kalian berdua. Rendra memang bukan Irfan, dan begitu juga sebaliknya. Tapi cobalah jalani kehidupanmu dengan bahagia bersamanya. Aku akan selalu menyayangimu dimanapun aku berada nanti.” Aku tak mengerti maksud perkataan Irfan. Aku memandang ragu kearah Irfan, Rendra dan kembali ke Irfan.
“ Apa maksudmu dimanapun kau berada nanti?” Irfan kembali menutup matanya. Untuk terakhir kalinya Irfan masih menunggu aku dan kehadiran keputusanku.
“ Baiklah Irfan, jika itu keinginanmu untuk aku bahagia. Pergilah bersama cintaku. Aku akan selalu menyayangimu seperti kau menyayangiku. Aku berjanji akan tetap menjadi Inka yang mengagumkan untukmu dimanapun dan kapanpun kau berada.” Air mataku menghiasi kembali wajahku saat aku berkata beberapa kalimat itu. Aku mendengar desahan begitu keras dari Irfan. Ya, Irfan sudah tiada memang. Dua tahun yang dulu sudah berlalu. Kenangan beberapa jam yang lalu begitu berarti saat ini untuk aku. Rendra berusaha meyakinkanku dengan sepenuh hati agar aku bersabar.
“ Kau tahu In. justru dari dialah aku belajar memahami sebuah ketulusan. Kau masih ingat kan? Peristiwa satu tahun yang lalu saat dia menytukan kedua tangan kita?” aku hanya menjawab perkataan orang itu dengan senyum. Aku memandang orang disampingku. Aku mengagumi orang ini seakan Irfanlah yang ada disampingku.
Lamunanku kembali terbang kemasa itu. Masa dimana satu hari itu sangat berarti.
“Kau tak bisa lakukan itu Fan.”
“Tapi aku harus melakukan hal ini. Hanya hal inilah yang harus aku pastikan. Aku mohon jangan halangi aku Ren.”
“Tapi apakah kau tak menghiraukan dirimu sendiri? Siapa dia bagimu? Dua tahun dia bersamamu, tapi dia masih butuh waktu untuk mengenalmu lebih jauh? Lupakan saja dia, dan berusahalah menjaga kondisimu kembali sehat.” Dengan satu sentakan keras Irfan berhasil melepaskan diri dari Rendra. Dia melesat keluar dari rumah sakit dan pergi menemui Inka.
Dari tempatnya berdiri Rendra hanya mampu memandang dengan sedih usaha saudaranya itu. Rendra bersikeras menahan kepergian Irfan. Kondisi Irfan yang semakin lemahlah yang membuatnya bersikap semakin keras dengan Irfan. Tapi Irfan tetap bersikeras menemui Inka hanya untuk sebuah jawaban.
Pemandangan yang awalnya hanya menjadi pemikiran Rendra berakhir menjadi kenyataan. Irfan kembali dengan kondisi yang sangat lemah. Rendra yang masih menunggu dengan gelisah kedatangan Irfan di lobi rumah sakit terperangah melihat Irfan yang terjatuh tepat di depannya. Dengan langkah pasti Rendra menghampiri Irfan dan membopongnya di punggung.
“Lihat bagaimana hasilnya usahamu ini Fan.”
“Kak Ren. Aku ingin kau menjaganya untukku. Aku sudah mendapat kepastian itu dan aku bahagia. Dan sekarang aku bisa tenang. Bisakan kau menjaganya untukku? Disaat aku sibuk?” Tubuh Rendra menegang mendengar perkataan Irfan. Dengan ragu Rendra menjawab pertanyaan Irfan.
“Kenapa kau justru meminta aku menjaganya jika kau menyayanginya Fan? Seharusnya kau berusaha untuk bertahan sendiri dan menjaganya sendiri. Dan seharusnya kau bisa mengatasi kesibukanmu nanti. Jadi sehatlah dulu demi semua orang.” Sebuah senyum tergambar di wajah Irfan.
“ Aku mohon kau ikut menjaganya untukku kak. Dia berarti untukku. Baik sekarang ataupun nanti.”
“ Sudahlah kau harus sehat terlebih dahulu Fan. Baru setelah itu…” Perkataan Rendra terhenti saat dia merasa tubuh Irfan melemas di punggungnya. Tangan Irfan yang erat berpegangan mengendur dan terlepas. Hal ini semakin membuat panik Rendra. Saat itulah Irfan terbaring di ruang ICU dan saat itulah aku datang.
“Aku masih heran kenapa kau bisa berusaha sekuat itu kepada gadis ini Fan.” Dengan menaburkan bunga baru diatas pusara itu Rendra berbicara dengan memandang wajah Inka disampingnya dan kembali memandang pusara itu.
“Aku tak menyangka perkataanmu saat itu adalah keinginanmu yang terakhir. Dan sikap konyolmu saat itu adalah caramu untuk berpesan terakhir kalinya. Dan bisakah kau lihat dia bersamaku sekarang. Aku telah memenuhi permintaanmu jadi tenanglah kau disana.”
“Sudahlah Ren. Jangan goda Irfan terus. Aku memang pantas untuk diperjuangkan. Jadi tidak ada alasan untukmu mengingkari janjimu dengan Irfan. Dan jangan salahkan Irfan jika dia memang memilih orang yang tepat sebagai pesan terakhirnya untukmu, karena kau sendiripun tak mampu mencari gadis pujaanmu sampai Irfan yang harus mencarikan untukmu. Dasar.”
“Kau bisa lihatkan Fan betapa gadismu ini menyebalkan ?”
“Aku tidak menyebalkan, kaulah yang menjengkelkan.”
Aku dan Rendra setiap hari belajar memahami masing-masing. Aku menoleh dan memandang dengan senyum tulus pusara Irfan untuk terakhir sebelum langkahku meninggalkan tempat itu.
Keputusan tuhan adalah segalanya di dunia ini. Bahkan keputusan manusia yang sudah terorganisir dengan baik belum tentu bisa menandingi keputusan tuhan. Dan kali ini aku memahami bahwa cinta Irfan memang benar-benar tulus untuk aku.
“Terimakasih Irfan. Aku tersanjung dengan pengorbananmu. Aku juga akan menjaga Rendra untukmu. Beristirahatlah dengan tenang. Jangan merisaukan aku. Aku akan berjanji untuk selalu bahagia.”