Pagi ini cuaca amat
cerah. Suasana begitu nyaman dan hangat. Aku tergerak dari mimpiku. Menjalani
hariku dengan segenap semangat. Seperti biasa. Aku menyiapkan diri menghadapi
hari selayaknya orang lain. Aku mengayuh sepedaku dengan riang, embun pagi yang
masih menemani hari rasanya menusuk kulit. Dingin!!
Aku, umurku baru 25 tahun. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua kakak perempuanku telah menikah. Sedangkan aku menikah bukanlah prioritas pertama makanya aku masih melajang sampai sekarang. Aku bekerja sebagai staff di suatu perusahaan.
Tepat pukul 13.00 siang saat jam istirahat makan siang teleponku berdering. Awalnya aku ragu, karena malas berbicara. Tapi aku angkat juga telfon itu dan ternyata itu telfon dari ibuku.
Aku, umurku baru 25 tahun. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua kakak perempuanku telah menikah. Sedangkan aku menikah bukanlah prioritas pertama makanya aku masih melajang sampai sekarang. Aku bekerja sebagai staff di suatu perusahaan.
Tepat pukul 13.00 siang saat jam istirahat makan siang teleponku berdering. Awalnya aku ragu, karena malas berbicara. Tapi aku angkat juga telfon itu dan ternyata itu telfon dari ibuku.
"Nak,kau akan ibu
jodohkan dengan anak kenalan ibu. Bersediakan kau nak?" Kata-kata
itu meluncur dengan mudahnya dari mulut ibuku. Aku tercengang mendengar
perkataan ibuku. Tenggorokanku begitu tercekat tak mampu bersuara saat ibuku
berteriak-teriak ditelfon meminta jawaban.Tak terasa telfonku
terlepas dari tanganku. Seakan semua syarafku berhenti bekerja. Makanan yang
aku pesan yang kini didepanku tak tersentuh olehku. Nafsu makanku mendadak
hilang.
"Sebegitu
inginkah ibuku untuk aku menikah? Sampai pertunangan atau perjodohan ini diadakan?"
Aku berguman sendiri tak jelas. Aku meraih telfonku yang terjatuh tadi.
Memperbaikinya dan kembali menelfon ibu. Rasanya aku tadi sudah tidak sopan
membiarkan beliau menunggu. Tapi ternyata pembahasan ibu tetap sama.
"Nak nanti
keluarga kenalan ibu akan datang untuk berkenalan denganmu, sepulang kerja
langsung pulang ya nak, ibu ingin yang terbaik buatmu".
Sepulang bekerja
kata-kata ibu masih berputar-putar dipikiranku. Sekarang apa yang akan aku
lakukan, aku tak menginginkan perjodohan ini. Mengapa ibu memaksaku untuk hidup
dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal.? Aku melangkah menuju tempat
parkir sepeda. Memikirkan perkataan ibu tadi membuatku kehilangan fokus.
Aku tak mendengar suara klakson mobil yang kerasnya memekakkan telinga
karena aku melamun. Lamunanku buyar saat seorang menyentakkanku dengan kasar.
Dia menatap aku dengan anehnya. Aku mendongak menatapnya. Dia tetap memandang
aku dengan sikap sama.
"Hei nona kau
sedang apa? Berhenti ditengah jalan?!" Terbesit nada marah disuaranya. Aku
tak menghiraukan dia. Aku berdiri dan langsung meninggalknnya."Kenapa aku
? Apa yang harus aku lakukan?"
Aku masih terpekur di
tempatku sekarang. Duduk termenung di kursi tunggu parkir memikirkan kenyataan
yang harus aku hadapi sepulang kerja. Aku mendesah keras setelah putus asa tak
menemukan jawaban dari kenyataan ini. Lama sekali aku mengulur ulur waktu
pulangku. Semua rekan kerjaku sudah pulang hanya tinggal aku di tempat parkir
ini.Tiga jam berlalu aku mulai menyerah. Dalam hati aku, aku hanya berharap
lelaki dan keluarganya itu sudah pulang dan aku tak bertemu dengannya. Dan
lebih baik lagi kalau perjodohan ini dibatalkan.
Aku meletakkan
sepedaku di pojok teras rumah. Belum sempat aku mengetuk pintu dan mengucap
salam ibu sudah menghadangku dengan tatapan kesal.
"Assalamu'alaikum
ibu. Aku pulang"
Ibu menatap
lurus-lurus kearahku, membuat aku serba salah. aku tahu resiko menentang ibu.
Tapi aku lebih tahu resiko menentang hatiku.
"Darimana saja
kau?! Jam segini baru pulang?! Ibu sudah berkata tadi, kamu langsung
pulang. Udah dikasih tahu ada orang yang mau datang malah tidak pulang ?!"
Ibu menumpahkan semua kekesalannya saat itu juga kepada aku. Tak membiarkan aku
beristirahat atau minum sekalipun.
"Huft. Apa
pentingnya sih pernikahan itu?" Kataku menyemangati diriku dalam hati. Ibu
tetap saja membahas keterlambatanku. Tak memberiku kesempatan menjelaskan
alasan apapun. Aku menyerah menghadapi sikap ibu.
Malamnya seseorang
mengetuk pintu rumahku. Aku melirik jam rumahku sejenak. Hampir jam 20.00 malam.
Masih wajar untuk bertamu. Saat aku akan berdiri dari meja kerja rumahku untuk
membuka pintu aku sudah mendengar suara bahagia ibuku. Setelah bercakap-cakap
pendek dengan tamu itu ibu masuk dan menemui aku,
"Nak ada tamu,
kamu pakai baju yang sopan ya. Buatin minum gih" Ibu berkata dengan
manisnya kepadaku. Tapi anehnya aku tak begitu senang dengan sikap ibu yang
seperti ini. Lima menit kemudian aku keluar menuju ruang tamu dengan
hidangan dan minuman untuk tamu. Samar-samar aku dengar ibu menyetujui sesuatu.
Langkahku tersendat ragu. Mungkinkah??. Sesampainya di ruang tamu aku melihat
seorang ibu dan anak lelakinya duduk di ruang tamuku. Keningku dan kening
lelaki itu berkerut bersamaan. Mata kami bertemu pandang dalam perasaan tak
menentu.
"Aku benci
keadaan seperti ini" Ucapku dalam hati. Aku berjalan perlahan mendekati
mereka dan menyuguhkan hidangan yang aku bawa.
"Nah ini anak
saya bu. Ma'af tadi siang dia pulang terlambat" Kata ibuku dengan senyum
yang berlebihan.
Akhirnya malam itu
selesai. Dan akhirnya keputusan ibuku dan ibu lelaki itu sudah bulat. Mereka
akan tetap menjodohkan aku dan dia. Aku tak sempat berkenalan dengan lelaki
itu. Aku lebih banyak mengalihkan pandanganku kearah lain. Dia sendiri juga tak
begitu setuju dengan perjodohan ini. Tapi kenapa dia tak punya kuasa untuk
menentang ini semua? Sebelum terjadi.
Keesokan paginya aku
membuka mata dengan malas, bangun tidur dengan malas semuanya serba malas. Hari
ini hari libur kerjaku setelah satu minggu bekerja. Segala rencana menarik sudah
aku susun tadi malam dan hari ini berniat aku jalani. Tapi tiba-tiba seorang
wanita 30an datang ke rumah. Dia bercakap-cakap dengan ibuku begitu akrab. Saat
aku menampakkan diri dia langsung mengenaliku, dia menyapaku. Aku
bercakap-cakap banyak hal dengannya. Ternyata dia yang mengenalkan ibuku dengan
keluarga lelaki itu. Dan topik pembahasan terakhir begitu mengagetkanku.
"Hey kau tahu
tidak. Orang yang dijodohkan ibumu denganmu sebenarnya..." kata-katanya
menggantung tidak jelas. Membuatku semakin penasaran.
"Dia seorang duda
tapi tak masalahkan? Toh dia tak punya anak, dia juga masih tampan" Nada
bicaranya begitu santai. Aku tersentak dan tak sadar kalau mataku melebar dan
menegang. Bahuku lemas seakan dihantam sesuatu yang berat.
"Apa? Duda?"
Jeritku dalam hati menyakinkan kalau yang aku dengar tidak salah. Rasa marah
menjalari sekujur tubuhku. Aku berusaha meredam rasa marah itu demi nama baik
ibu didepan wanita ini. Aku tahu hatiku menangis saat ini. Ternyata keputusan
itu memang menyakitkan aku dan hidupku.
"Lalu sekarang
apa yang akan aku perbuat?" Tanyaku dalam hati. Hatiku meradang mendengar
perkataan mbak Mia yang mengatakan calon suamiku DUDA. Ingin rasanya aku
melempar diriku jatuh dari gedung berlantai 10.
"Apakah aku ini
tak berharga? Mengapa ibu tega? Sungguh aku tak menyangka". Batinku dalam
hati. Mbak Mia terus saja menceritakan kenyataan pahit yang harus aku terima.
Menceritakan bagaimana hubungan calon suamiku dengan istrinya. Semakin membuat
aku tak mampu membendung air mata. Menerima satu kenyataan pahit lagi membuatku
melemah. Semua semangatku luntur begitu saja. Baru saja aku menata hati
menerima keadaan tapi sebentar kemudian aku terjatuh lagi.
Sejenak aku
meninggalkan mbak Mia dan menghampiri ibu. Aku berusaha sekuat tenaga menahan
emosi hati.
"Ibu, kenapa ibu
tak pernah berkata kepadaku? Kenapa ibu tak berkata jujur kepadaku? Kenapa ibu
menjodohkan aku dengan seorang DUDA??!” Airmata itu menetes. Suaraku tercekat
begitu saja. aku terbenam dalam tangis didepan ibu. Dengan langkah ragu aku
melihat ibu mendekatiku. Seulas senyum diukir diwajahnya. Senyum yang aku
benci. Senyum yang berisi paksaan bahwa aku harus menerima semua keputusannya.
Aku merasakan ibu meraihku kedalam pelukannya. Aku merasakan belaian tangannya.
Aku merasakan kenyamanan sejenak bersamanya. Tapi setelah dia berkata
"Sudahlah anakku
takdirmu memang begini. Cinta itu tidak penting nantipun akan tumbuh seiring
adanya waktu. Yang dibtuhkan dalam keluarga hanyalah kesetiaan dan kepercayaan.
Jadi airmatamu itu tak berguna." Kata-kata ibu begitu pelan bahkan menyerupai
bisikan. Tapi bisikan itu menghujam diriku. Membuatku menegang. Didalam hati
aku berfikir.
"Tidakkah aku
boleh memilih cintaku sendiri? Rasanya dunia juga tidak mempermasalahkan
hal itu, ada apa dengan ibuku?" Aku menyeka airmataku begitu ibu
melepas pelukannya. Aku melihat rona wajah ibu yang santai, seakan ibu tidak
mampu melihat kekecewaan besar dalam diri aku.
Mbak Mia tiba-tiba
saja mengajak aku pergi kerumah lelaki itu. Ibu juga menyetujui rencana itu.
Katanya biar aku dekat dengan keluarga lelaki itu. Kali ini aku paksakan
menuruti kata-kata mereka. Mungkin dengan begitu aku bisa sedikit mengurangi
rasa kecewa dan menerima kenyataan. Dua puluh lima menit kemudian aku sampai
diseberang jalan rumah calon suamiku. Saat aku turun dari motor,mbak Mia tiba-tiba
berkata dengan menunjuk sebuah rumah berwarna hijau tepat didepan rumah calon
suamiku.
" Itu adalah
rumah bekas istri calon suamimu dek. Tapi sekarang orang itu sudah meninggal.
Hem.. Ya begitulah" Bagai seorang pencuri yang mengendap-endap. Aku merasa
bagai seorang perempuan pencuri lelaki orang lain. Aku berjalan kearah rumah
calon suamiku.
Saat sampai didepan
pintu aku ragu untuk mengetuk. aku menoleh beberapa kali kearah mbak Mia. Saat
aku mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka dan
seorang wanita tua keluar dan menatapku bingung. Sekian detik setelah dia
memahami siapa aku dia merangkul dan memeluk aku.
" Oh calon
menantuku datang berkunjung.? Ayo masuk nak" Dengan hangat ibu Mirna
menyambutku. Ya Mirna adalah nama calon mertuaku. Setelah mengajakku masuk dan
mengobrol sebentar denganku bu Mirna masuk untuk memanggil anaknya
"Brian". Nama itu tak asing ditelingaku. Seperti terkena dejavu
dengan nama itu. Ini kali kedua aku akan bertemu dengan lelaki itu. Akhirnya
dia keluar. Refleks aku melihat dia, aku memasang seulas senyum kepadanya. Dia
pun membalas senyumku dengan singkat. Setelah dia duduk disampingku bu Mirna
meninggalkan kami berdua. Kesunyian menghampiri kita berdua. Aku melihat dari
balik bulumataku dia menunduk lalu mengangkat kepalanya.
" Kenapa kau
datang kemari? Ada urusan penting?" Nada bicaranya begitu dingin. Membuat
aku merasa bimbang untuk bertanya kebenaran kenyataan yang aku pikirkan.
Refleks aku mendengar ucapannya entah mengapa dengan mudah wajahku menoleh
kearahnya. Tak aku duga dia juga menatapku dengan tatapan bingung dan ragu.
Ruangan ini kembali hening. Kita berdua disibukkan lagi dengan pikiran
masing-masing. hening.
"A.Aku datang
kesini cuma berkunjung. Toh aku kesini diajak mbak Mia tadi. Kenapa? Kau tak
suka kehadiranku? Okelah lebih baik aku pulang saja. Bertemu denganmu cuma
membuat aku lebih membenci perjodohan ini." Aku sebenarnya tercengang
dengan ucapanku sendiri. Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar dari mulutku.
Aku berdiri akan melangkah melewatinya tapi langkahku tersendat tertahan karena
lenganku ditahan oleh brian.Refleks aku memandang kearah lenganku yang ditahan
oleh Brian. Secara perlahan tapi pasti brian menatapku. Mata hitamnya menatapku
begitu dingin. Aku mencoba melepaskan lenganku darinya tapi sia-sia.
"Kenapa harus
pulang? Memang aku mengusirmu? Apa aku mengatakan sesuatu yang melukaimu?"
Tatapan dingin Brian melebur menjadi tatapan lembut yang menatapku. Jika aku
bertemu dengan Brian sebelum perjodohan ini aku pasti sudah jatuh hati
kepadanya. Owh tidak, apa yang aku pikirkan? Ini tidak benar. Aku terpaksa
duduk kembali masih dengan tatapan ragu Brian menatapku.
Begitu lama aku
bercakap-cakap dengan Brian, tak sengaja aku menoleh ke arloji dipergelangan
tanganku. Sudah hampir dua jam aku ada dirumah Brian. Percakapan aku dengan
Brian memberiku penilaian yang berbeda dengan awal pertemuanku dengannya.
"Hah, aku harus
pulang. Ini sudah terlalu lama. Ibuku pasti tambah marah." Kataku seraya
berdiri melangkah kearah pintu. Aku teringat sesuatu aku tadi datang kerumah
Brian bersama mbak Mia, tapi sekarang dia ada dimana? Wajahku mulai bingung
mencari sosok mbak Mia.
"Ehem... Daripada
kau kebingungan? lebih baik kau kuantar pulang.. Bagaimana?" Tubuhku
berputar memandang kearah Brian dengan bingung.
" Tak usahlah aku
bisa pulang sendiri dengan kendaraan umum. Terimakasih sudah menawarkan
bantuan." Baru satu langkah aku melangkah. Lagi-lagi Brian menahanku.
"Kenapa kau
menolak bantuan dariku? Bukankah aku calon suamimu?" Kata-kata itu
menghujam diriku tepat dihatiku. Yah dia benar, dia memang calon suamiku,
kenapa aku malah bersikap dingin kepadanya. Aku mencoba melepaskan tanganku
dari Brian dan kali ini Brian melepaskan tanganku dan membiarkan aku berfikir.
Beberapa detik sebelum aku menjawab perkataan Brian ibu Mirna datang
menghampiri kami.
" Lebih baik kamu
diantar Brian nak. Daripada kamu pulang sendiri dan keselamatanmu tak
terjamin." bu Mirna berkata begitu lembut kearahku menatapku penuh kasih
melebihi ibuku sndiri. Ibu Mirna begitu baik kepadaku melebihi ibu kandungku
sendiri. ucapan beliau, tatapan beliau begitu melunakkan semua kebencianku
terhadap keadaan yang sebelumnya aku benci. Aku menatap nanar kearah ibu Mirna,
begitu pula dengan beliau. Dengan ragu aku menoleh kearah Brian. aku berharap
Brian akan menolak mengantarkan aku, karena aku sendiri tak ingin lebih jauh
terjerembab dalam masalah cinta yang lebih komplek daripada sebelum ini. ibu
Mirna tiba-tiba saja mendekat kearahku, membelaiku, menatapku sendu. dalam hati
aku benar-benar mengharapkan seorang ibu seperti beliau, tapi hal itu abstrak
terjadi. Khayalan itu justru akan menusuk aku sendiri jika hal itu terjadi.
Seburuk apapun ibu dimataku, dia tetap ibuku yang mengasihi aku apa adanya di
masa aku balita dulu. Aku menatap ragu kearah Brian, seakan meminta
persetujuannya. tak aku sangka Brian berkata lain.
" Tak apa ibu aku
juga berniat mengantarnya pulang, ibu tenang saja dia aman bersamaku. Aku akan
mengantar dia sampai dia benar-benar masuk dan aman di dalam rumah" Seulas
senyum mewarnai wajah Brian. Mau bagaimana lagi sekarang aku terjebak diatas
dilemaku sendiri. Akupun mengerti benar keinginan hati aku sendiri, tapi aku
merasa keinginan pribadiku tak akan mampu aku penuhi disaat ibu Mirna ada di
depan mataku. Dengan senyum sumbang aku menanggapi keadaan.
Akhirnya hari ini aku
memang pulang diantar oleh Brian. Perjalanan pulang aku dan Brian hanya
ditemani sepi. Tak ada sepatah katapun dari satu sama lain. Aku sibuk dengan
pemikiranku sendiri. Dan aku rasa brian juga demikian. Entah apa yang aku
rasakan sekarang. Aku merasakan perasaan yang aku sendiri tak mampu menerjemahkannya.
Motor Brian berhenti
tepat didekat sebuah taman. Setelah mesin motor mati Brian menunduk sebentar.
" Apa kau akan
duduk diam diatas motorku? Kita turun disini sebentar. Aku ingin mengatakan
sesuatu" Aku mengikuti Brian turun. Dan berjalan mengikuti kearah bangku
taman yang Brian tuju. Tanpa komando aku duduk dibagian bangku yang tersisa.
Aku hanya mampu menunduk menunggu Brian mengatakan apa yang akan dia ungkapkan.
Aku mampu melihat Brian memandangku ragu dan gelisah dan kembali menunduk. Apa
yang brian gelisahkan? Kenapa dia harus gelisah? Hanya pertanyaan itu yang
muncul dibenakku.
"Kau tau. Dulu
aku pernah memberikan hati aku ke seorang perempuan. Perempuan yang sempurna
untuk aku. Perempuan yang mampu mengubah duniaku. Tapi kenyataan berkata lain
saat kecelakaan itu terjadi. Andai kejadian dua tahun yang lalu tak terjadi.
Andai aku tak meninggalkannya sndiri. Sekarang aku pasti masih bersamanya.
Awalnya setelah dia pergi aku tak ingin berurusan lagi dengan cinta. aku tak
perduli aku berubah menjadi orang yang dingin dan angkuh. Cintaku hanya ada
satu dan itu sudah terkubur bersamanya. Entah kenapa seorang gadis membuatku
berang. Seakan aku dirasuki sesuatu melihat kelakuannya. Dia dengan mudahnya
menyeberang jalan dengan melamun. Tak peduli keadaannya. Dan sekarang yang aku
tahu dia adalah orang yang sama dengan calon istri perjodohanku. Orang yang
selalu membuatku penasaran. Dan dia adalah kau"
Aku mendongak
menatapnya. Aku berdiri menjajarinya. Sekarang aku tercengang melihat Brian
menitikkan airmata. Entah keberanian datang darimana yang merasuki diriku.
Sebelah tanganku terangkat dan terarah menyentuh wajah Brian dan menghapus
airmatanya. Tersentak aku saat tangan Brian meraih tanganku dengan lembut.
Brian menatapku lekat. Dia mengukir senyum diwajahnya,mungkin dia berharap
senyum yang muncul adalah senyum bahagia tapi yang aku lihat hanya senyum
muram.
" Aku ingin
belajar mengalah dengan takdir hidupku. Aku ingin memulainya dari dasar
bersamamu." Sejenak aku kaget dengan perkataan Brian. Aku mundur selangkah
menjauh dari Brian. Ketakutanku muncul kembali, tak terasa airmataku
menetes.Dengan tiba-tiba Brian merengkuhku kedalam pelukannya. Airmataku pecah
dalam pelukan Brian. Semua pikiran yang berkecamuk dalam diriku seakan terlepas
begitu saja. aku merasa damai dalam pelukan Brian.
" Aku takkan
memaksamu untuk menerimaku. Aku hanya ingin mengungkapkan semua hal yang aku
pendam selama ini kepadamu. Karena aku merasa kaulah orang yang membuatku
membuka mata lagi untuk hidupku." Kata-kata Brian begitu menyentuh relung
hatiku. Airmataku semakin deras mengalir. Dan Brian semakin erat memelukku.
"Brian. Aku tak
pantas untuk cintamu. Aku tak sesempurna gadismu yang dulu." Aku mendengar
sendiri nada suaraku tak beraturan.
"Aku berjanji aku
kan mencoba menjadi Brian yang baru untukmu. Aku takkan mengungkit masa laluku.
Asal kau berjanji akan selalu bersamaku dan akupun akan berjanji takkan
meninggalkanmu” Aku terpekur dalam diam. Aku hanya mampu menjawab dengan
anggukan kepala dan senyuman dalam tangis.
" Terimakasih
Brian. Kau telah memberitahuku apa itu cinta sebenarnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar