Rabu, 26 November 2014

Satu Hari yang Berarti

“ In, jujur saja aku sudah sejak dua tahun lalu memperhatikanmu. Ada perasaan senang saat aku menatap wajahmu. Bagaimana menurutmu?” Siang itu begitu panas, aku berjalan sendiri awalnya menuju tempat parkir sepeda. Entah mengapa tiba-tiba saja seorang lelaki berjalan beriringan dengan aku. Irfan. Ya, Irfanlah lelaki itu. Seorang lelaki yang selama dua tahun ini satu kelas bersamaku. Setelah aku mendengar dia berkata semua yang ingin dikatakannya kepadaku langkahku sertamerta terhenti secara tiba-tiba. Aku mendongak mencoba menatap Irfan dengan ragu. Tapi kemudian aku tertunduk sebentar dan kembali berjalan pelan di samping Irfan.
“ Kenapa Fan? Kau tau kan dua minggu lagi kita akan ujian? Aku butuh waktu untuk menjawab pertanyaanmu. Besok aku akan menjawab pertanyaanmu itu.” Aku mencoba membuat suaraku setenang mungkin agar tak terdengar menyinggungnya. Aku mampu merasakan tubuh Irfan berhenti bergerak di sampingku, seakan dia tercengang dengan jawabanku. Aku mendengar desahan keras dari arah Irfan berdiri. Aku menoleh sebentar dan aku mendapati tatapan Irfan yang lekat dengan kecewa, tapi penuh dengan harap.
Di perjalanan pulang perkataan Irfan masih terngiang di pikiranku. Entah berapa kali sudah aku merasa diriku linglung. Mungkin sudah dua kali lebih aku hampir mengayuh sepedaku ke tengah jalan.
“ Kau kenapa In? Tidak biasanya kau seperti ini. Ada yang bisa aku bantu sebagai sahabatmu?” Dia adalah Dewi sahabat karibku dari dulu. Lamunanku tentang perkataan Irfan buyar sudah. Aku menoleh menatap Dewi dengan tatapan menyerah. Walau aku tahu Dewi akan terus bertanya tentang sikapku, tapi aku ragu dengan diriku sendiri akan kebenaran yang terjadi. Akupun hanya memaksakan seulas senyum kepada Dewi.
Inka itulah aku. Umurku baru oktober kemarin menginjak 18 tahun. Aku anak sulung di keluargaku. Sekolahku lumayan terfavorit di kotaku. Selama lebih dari dua tahun terakhir sebelum umurku 18 tahun aku tak mempercayai tentang cinta atau apapun yang berbau dunia percintaan. Tapi hadirnya Irfan membuatku berfikir kembali dengan berbagai keputusan yang harus aku ambil. Mempertimbangkan semua aspek dari banyak segi pandang untuk sekedar memberikan jawaban kepadanya. Hal tersebutlah yang membuatku menjauh dari dunia percintaan. Itu semua hanya membuat diriku semakin terbebani.
            Tiga puluh menit setelah aku sampai di rumah, tiba-tiba saja pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Saat aku beranjak berdiri, aku terduduk kembali setelah aku mendengar suara seorang lelaki sedang berbicara. Aku mengira itu adalah tamu ibuku atau ayahku. Ternyata dugaanku meleset. Yang datang adalah tamu untukku, tapi siapa? Temankah? Aku seharian ini tak mempunyai satupun janji dengan seorang teman. Aku merasakan sendiri langkah kakiku tersendat tak menentu kearah ruang tamu. Aku bisa merasakan mataku yang  terbelalak karena kaget. Tubuhku kaku tak karuan bentuknya.
“Dia sungguh tidak sabaran, kenapa harus datang kerumahku segala? Bukankah aku tadi mengatakan akan menjawab perkataannya besok.” Hanya itu kata-kata yang mampu aku utarakan dalam hati.
Aku sendiri memaksa diriku duduk disebelahnya. Aku tahu keputusan Irfan untuk datang kerumahku hanya untuk meminta jawaban dariku. Aku termenung begitu lama menyiapkan rangkaian kalimat yang akan aku lontarkan kepada Irfan. Aku melihat Irfan dari balik bulu mataku menoleh kearahku. Aku menyesal saat kedua mataku bertemu pandang dengan matanya. Dalam mata itu terpancar harapan yang begitu besar untuk aku pertimbangkan, seandainya saja aku tadi tidak memandangnya mungkin sorot mata itu tak akan menjadi pengecualian untuk aku agar tetap menolaknya.
“ Ehm, In aku meminta jawabanmu lebih awal daripada seharusnya. Bolehkah?” Irfan bertanya begitu tulus dan polos . Aku tahu Irfan bukanlah tipe cowok yang tergolong playboy, seharusnya tidak ada alasan untuk gadis seperti aku menolaknya. Dia begitu sempurna.
“Irfan, aku dulu saat satu kelas denganmu memang tidak begitu mengenalmu dengan baik, aku hanya ingin mengenalmu dengan baik dahulu baru aku memutuskan jawaban pasti yang akan aku berikan untukmu.” Aku mampu melihat sorot wajah berharapnya memudar begitu cepat.
“Aku membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Lagipula dengan kesempurnaanmu kau pasti bisa memilih seseorang yang lebih baik daripada aku Fan.”
“Mungkin aku bisa In, tapi aku tak bisa.” Dengan satu sentakan tangan Irfan beranjak berdiri dan meninggalkan rumahku. Dengan satu tanganku aku mencoba meraih tangannya dan menghentikannya untuk sebelum pergi.
“ Tapi bukan maksud aku untuk menolakmu Irfan. Kalau kita berdua mampu, kita jalani dulu hubungan yang ada sampai kita benar-benar tahu satu sama lain. Namun aku sendiri belum yakin dengan diriku Fan.” Aku terlonjak kaget dan lupa bagaimana caranya bernafas dengan benar. Irfan begitu cepat menarik aku dalam pelukannya. Dalam keadaan ini entah mengapa aku tahu dan mampu merasakan dengan yakin kalau Irfan memang menyayangiku dengan tulus.
Sejenak  setelah kepergian Irfan dari rumahku aku tersentak begitu hebatnya dengan kabar yang baru saja aku terima. Entah siapa orang yang menelfonku secara tiba-tiba itu. Orang itu mengaku Rendra. Aku merasa pundakku begitu berat baru saja beberapa jam yang lalu aku resmi menjadi kekasih Irfan, tapi kabar itu seakan menjadi bumerang yang menghancurkan semuanya. Aku merasa airmataku menetes tak henti dari pelupuk mataku sendiri.
“ Cepatlah datang kerumah sakit Tirta Abadi, dia membutuhkanmu.” Perkataan itu, ucapan itu dan sebaris kalimat itulah yang membuat aku menitikkan airmata. Pandanganku seakan kabur, aku tak tahu akankah aku masih mampu menghadapi kenyataan nanti tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Irfan di rumah sakit. Dengan perasaan yang tak menentu aku mengarah ke rumah sakit. Gedung putih yang berbau obat itu menyambutku dengan angkuhnya. Aku berjalan tak tentu arah mencari posisi Rendra sekarang. Di sudut belokan aku melihat Dewi yang lebih dulu ada di ruang tunggu di depan sebuah ruangan, aku terpaku menatap Dewi, dia berurai air mata begitu deras. Selain Dewi aku juga mampu melihat orang tua Irfan dan seorang pria berdiri bersedekap dan bersandar pada tembok dengan wajah menanti-nanti sesuatu.
Oh tidak, aku tahu sekarang apa yang terjadi, yang mereka nantikan adalah Irfan. Irfan yang ada di dalam ruangan ICU itu. Aku bergidik membayangkan apa yang sebenarnya terjadi dengan Irfan. Begitu banyak pemikiran-pemikiran negatif tentang bagaimana caranya Irfan bisa sampai masuk rumah sakit. Aku berjalan gontai menuju kursi tunggu ruangan itu. Aku berjalan kearah Dewi dengan mata nanar penuh dengan airmata. Aku berusaha bersikap tegar dalam situasi ini. Aku memberanikan diri duduk bersebelahan dengan Dewi yang masih menangis.
“ Dew, apa yang terjadi sebenarnya? Lantas kenapa Irfan ada di dalam ruangan itu? Jelaskan padaku Wi.” Aku meminta dengan suara tersendat. Dewi menoleh menatapku sesaat. Dia meraihku dan memelukku dengan erat. Terdengar isakan tangis yang lebih keras dari sebelumnya.
“ In, tadi apakah irfan menemuimu dirumah?”.
“Iya dia datang kerumahku sekitar lima jam yang lalu, kenapa?”. Dewi melepas pelukannya dariku dia menatapku tepat pada kedua mataku.
“ Kau tahu In, sebenarnya butuh banyak pengorbanan yang dia lakukan hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa kau mau menjadi kekasihnya. Tapi setelah pulang sekolah tadi Irfan tak begitu sehat. Kau tahu mengapa dia ada di rumah sakit ini? Dia mengidap penyakit kronis. Kanker paru-paru stadium tiga akhir dan hari ini dia dinyatakan kritis.” Aku merasakan tubuhku menegang mendengar penjelasan Dewi. Mengapa selama dua tahun terakhir saat aku satu kelas dengannya tak begitu kentara kalau dia sakit. Yang aku bisa lakukan hanyalah mendekap erat mulutku. Aku tak mampu berkata apapun saat itu. Setitik air mata kembali menetes dari mataku.
“ Hanya demi mendapat kepastian darimu In, dia merelakan dirinya lebih sakit lagi. Dia begitu bodoh menyia-nyiakan hidupnya yang tersisa hanya untuk jawabanmu. Dia nekat pergi menemuimu, walau kami dan para perawat sudah mencoba menghalangi niatnya. Dan apa akhirnya, dia hanya tergeletak tak berdaya di dalam sana.” Dewi kembali tersedu begitu hebatnya, aku tahu dewi adalah teman baik Irfan juga. Aku juga mengerti jika dia memang terpukul dengan keputusan Irfan yang bodoh. Aku merasa disini akulah yang harus disalahkan. Lamunanku beranjak ke saat sebelum aku duduk diruang tunggu rumah sakit ini. Betapa irfan begitu terlihat sangat sehat di depanku. Betapa dengan lembutnya dan dengan eratnya irfan mendekap tubuhku dalam pelukannya. Sungguh Irfan bodoh. Mengapa di depanku dia begitu sehat.
Saat aku tahu lampu ruang ICU padam dan dokter sudah keluar aku berdiri dan menghampirinya.
“ Irfan bagaimana dok?” Tanya lelaki yang bersandar tadi yang aku tahu dia adalah Rendra. Rendra adalah kakak Irfan, tapi hanya kakak sepupu dari keluarga tertua ibunya.
“ Kondisinya semakin parah. Setelah keputusannya memaksakan diri bergerak terlalu banyak hari ini kanker itu semakin bebas menyakiti organnya. Ma’afkan kami, jika masa kritisnya tidak bisa terlewati dengan baik kesempatan untuk bertahan terlalu rendah bagi Irfan. Kami sudah berusaha semampu kami.”
“ Tapi dok, sudah bolehkah kami masuk?”.
“ Untuk saat ini hanya dua orang yang boleh masuk ke dalam ruangan.” Tanpa ada komando apapun Rendra menyeretku masuk. Aku terperangah sekejap kemudian. Sesampainya di dalam ruangan aku menghentakkan tanganku agar terlepas dari Rendra. Aku memandang getir kearah wajah Irfan yang lemah diatas tempat tidur ruangan itu.
“Irfan, kau harus bertahan. Setidaknya cobalah bertahan dan lihatlah  aku membawanya kemari sesuai permintaanmu tadi.” Aku menoleh kearah Rendra yang juga menatapku. Kemudian kembali ke Irfan. Aku melihat Irfan membuka mata perlahan. Aku kaget saat tanganku sendiri bergerak menyusuri wajah Irfan dan berhenti di pipi Irfan.
“Kamu bodoh Fan, hidupmu lebih berarti daripada apapun. Bodoh.” Aku menyandarkan wajahku di pinggiran tempat tidur. Aku melihat jawaban dari perkataanku tadi. Hanya senyum simpul kecil dari Irfan. Dengan tangan yang tak di infus Irfan meraih tanganku, tangan yang ada di pipinya, dan juga tangan Rendra yang ada di samping tubuhnya yang lain. Irfan menyatukan kedua tangan kami dalam satu tautan.
“ Aku memang bodoh Inka, aku lebih pengecut daripada yang aku tahu. Untuk kali ini aku ingin menyatukan kalian berdua. Rendra memang bukan Irfan, dan begitu juga sebaliknya. Tapi cobalah jalani kehidupanmu dengan bahagia bersamanya. Aku akan selalu menyayangimu dimanapun aku berada nanti.” Aku tak mengerti maksud perkataan Irfan. Aku memandang ragu kearah Irfan, Rendra dan kembali ke Irfan.
“ Apa maksudmu dimanapun kau berada nanti?” Irfan kembali menutup matanya. Untuk terakhir kalinya Irfan masih menunggu aku dan kehadiran keputusanku.
“ Baiklah Irfan, jika itu keinginanmu untuk aku bahagia. Pergilah bersama cintaku. Aku akan selalu menyayangimu seperti kau menyayangiku. Aku berjanji akan tetap menjadi Inka yang mengagumkan untukmu dimanapun dan kapanpun kau berada.” Air mataku menghiasi kembali wajahku saat aku berkata beberapa kalimat itu. Aku mendengar desahan begitu keras dari Irfan. Ya, Irfan sudah tiada memang. Dua tahun yang dulu sudah berlalu. Kenangan beberapa jam yang lalu begitu berarti saat ini untuk aku. Rendra berusaha meyakinkanku dengan sepenuh hati agar aku bersabar.
“ Kau tahu In. justru dari dialah aku belajar memahami sebuah ketulusan. Kau masih ingat kan? Peristiwa satu tahun yang lalu saat dia menytukan kedua tangan kita?” aku hanya menjawab perkataan orang itu dengan senyum. Aku memandang orang disampingku. Aku mengagumi orang ini seakan Irfanlah yang ada disampingku.
Lamunanku kembali terbang kemasa itu. Masa dimana satu hari itu sangat berarti.
“Kau tak bisa lakukan itu Fan.”
“Tapi aku harus melakukan hal ini. Hanya hal inilah yang harus aku pastikan. Aku mohon jangan halangi aku Ren.”
“Tapi apakah kau tak menghiraukan dirimu sendiri? Siapa dia bagimu? Dua tahun dia bersamamu, tapi dia masih butuh waktu untuk mengenalmu lebih jauh? Lupakan saja dia, dan berusahalah menjaga kondisimu kembali sehat.” Dengan satu sentakan keras Irfan berhasil melepaskan diri dari Rendra. Dia melesat keluar dari rumah sakit dan pergi menemui Inka.
Dari tempatnya berdiri Rendra hanya mampu memandang dengan sedih usaha saudaranya itu. Rendra bersikeras menahan kepergian Irfan. Kondisi Irfan yang semakin lemahlah yang membuatnya bersikap semakin keras dengan Irfan. Tapi Irfan tetap bersikeras menemui Inka hanya untuk sebuah jawaban.
Pemandangan yang awalnya hanya menjadi pemikiran Rendra berakhir menjadi kenyataan. Irfan kembali dengan kondisi yang sangat lemah. Rendra yang masih menunggu dengan gelisah kedatangan Irfan di lobi rumah sakit terperangah melihat Irfan yang terjatuh tepat di depannya. Dengan langkah pasti Rendra menghampiri Irfan dan membopongnya di punggung.
“Lihat bagaimana hasilnya usahamu ini Fan.”
“Kak Ren. Aku ingin kau menjaganya untukku. Aku sudah mendapat kepastian itu dan aku bahagia. Dan sekarang aku bisa tenang. Bisakan kau menjaganya untukku? Disaat aku sibuk?” Tubuh Rendra menegang mendengar perkataan Irfan. Dengan ragu Rendra menjawab pertanyaan Irfan.
“Kenapa kau justru meminta aku menjaganya jika kau menyayanginya Fan? Seharusnya kau berusaha untuk bertahan sendiri dan menjaganya sendiri. Dan seharusnya kau bisa mengatasi kesibukanmu nanti. Jadi sehatlah dulu demi semua orang.” Sebuah senyum tergambar di wajah Irfan.
“ Aku mohon kau ikut menjaganya untukku kak. Dia berarti untukku. Baik sekarang ataupun nanti.”
“ Sudahlah kau harus sehat terlebih dahulu Fan. Baru setelah itu…” Perkataan Rendra terhenti saat dia merasa tubuh Irfan melemas di punggungnya. Tangan Irfan yang erat berpegangan mengendur dan terlepas. Hal ini semakin membuat panik Rendra. Saat itulah Irfan terbaring di ruang ICU dan saat itulah aku datang.
“Aku masih heran kenapa kau bisa berusaha sekuat itu kepada gadis ini Fan.” Dengan menaburkan bunga baru diatas pusara itu Rendra berbicara dengan memandang wajah Inka disampingnya dan kembali memandang pusara itu.
“Aku tak menyangka perkataanmu saat itu adalah keinginanmu yang terakhir. Dan sikap konyolmu saat itu adalah caramu untuk berpesan terakhir kalinya. Dan bisakah kau lihat dia bersamaku sekarang. Aku telah memenuhi permintaanmu jadi tenanglah kau disana.”
“Sudahlah Ren. Jangan goda Irfan terus. Aku memang pantas untuk diperjuangkan. Jadi tidak ada alasan untukmu mengingkari janjimu dengan Irfan. Dan jangan salahkan Irfan jika dia memang memilih orang yang tepat sebagai pesan terakhirnya untukmu, karena kau sendiripun tak mampu mencari gadis pujaanmu sampai Irfan yang harus mencarikan untukmu. Dasar.”
“Kau bisa lihatkan Fan betapa gadismu ini menyebalkan ?”
“Aku tidak menyebalkan, kaulah yang menjengkelkan.”
Aku dan Rendra setiap hari belajar memahami masing-masing. Aku menoleh dan memandang dengan senyum tulus pusara Irfan untuk terakhir sebelum langkahku meninggalkan tempat itu.
Keputusan tuhan adalah segalanya di dunia ini. Bahkan keputusan manusia yang sudah terorganisir dengan baik belum tentu bisa menandingi keputusan tuhan. Dan kali ini aku memahami bahwa cinta Irfan memang benar-benar tulus untuk aku.
“Terimakasih Irfan. Aku tersanjung dengan pengorbananmu. Aku juga akan menjaga Rendra untukmu. Beristirahatlah dengan tenang. Jangan merisaukan aku. Aku akan berjanji untuk selalu bahagia.”

BELAJAR MENGERTI ARTI SEBUAH KEPUTUSAN

Pagi ini cuaca amat cerah. Suasana begitu nyaman dan hangat. Aku tergerak dari mimpiku. Menjalani hariku dengan segenap semangat. Seperti biasa. Aku menyiapkan diri menghadapi hari selayaknya orang lain. Aku mengayuh sepedaku dengan riang, embun pagi yang masih menemani hari rasanya menusuk kulit. Dingin!!
Aku, umurku baru 25 tahun. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua kakak perempuanku telah menikah. Sedangkan aku menikah bukanlah prioritas pertama makanya aku masih melajang sampai sekarang. Aku bekerja sebagai staff di suatu perusahaan.
Tepat pukul 13.00 siang saat jam istirahat makan siang teleponku berdering. Awalnya aku ragu, karena malas berbicara. Tapi aku angkat juga telfon itu dan ternyata itu telfon dari ibuku.
"Nak,kau akan ibu jodohkan dengan anak kenalan ibu. Bersediakan kau nak?" Kata-kata  itu meluncur dengan mudahnya dari mulut ibuku. Aku tercengang mendengar perkataan ibuku. Tenggorokanku begitu tercekat tak mampu bersuara saat ibuku berteriak-teriak ditelfon meminta jawaban.Tak terasa telfonku terlepas dari tanganku. Seakan semua syarafku berhenti bekerja. Makanan yang aku pesan yang kini didepanku tak tersentuh olehku. Nafsu makanku mendadak hilang.
"Sebegitu inginkah ibuku untuk aku menikah? Sampai pertunangan atau perjodohan ini diadakan?" Aku berguman sendiri tak jelas. Aku meraih telfonku yang terjatuh tadi. Memperbaikinya dan kembali menelfon ibu. Rasanya aku tadi sudah tidak sopan membiarkan beliau menunggu. Tapi ternyata pembahasan ibu tetap sama.
"Nak nanti keluarga kenalan ibu akan datang untuk berkenalan denganmu, sepulang kerja langsung pulang ya nak, ibu ingin yang terbaik buatmu".
Sepulang bekerja kata-kata ibu masih berputar-putar dipikiranku. Sekarang apa yang akan aku lakukan, aku tak menginginkan perjodohan ini. Mengapa ibu memaksaku untuk hidup dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal.? Aku melangkah menuju tempat parkir sepeda. Memikirkan perkataan ibu tadi membuatku kehilangan fokus. Aku  tak mendengar suara klakson mobil yang kerasnya memekakkan telinga karena aku melamun. Lamunanku buyar saat seorang menyentakkanku dengan kasar. Dia menatap aku dengan anehnya. Aku mendongak menatapnya. Dia tetap memandang aku dengan sikap sama.
"Hei nona kau sedang apa? Berhenti ditengah jalan?!" Terbesit nada marah disuaranya. Aku tak menghiraukan dia. Aku berdiri dan langsung meninggalknnya."Kenapa aku ? Apa yang harus aku lakukan?"
Aku masih terpekur di tempatku sekarang. Duduk termenung di kursi tunggu parkir memikirkan kenyataan yang harus aku hadapi sepulang kerja. Aku mendesah keras setelah putus asa tak menemukan jawaban dari kenyataan ini. Lama sekali aku mengulur ulur waktu pulangku. Semua rekan kerjaku sudah pulang hanya tinggal aku di tempat parkir ini.Tiga jam berlalu aku mulai menyerah. Dalam hati aku, aku hanya berharap lelaki dan keluarganya itu sudah pulang dan aku tak bertemu dengannya. Dan lebih baik lagi kalau perjodohan ini dibatalkan.
Aku meletakkan sepedaku di pojok teras rumah. Belum sempat aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu sudah menghadangku dengan tatapan kesal.
"Assalamu'alaikum ibu. Aku pulang"
Ibu menatap lurus-lurus kearahku, membuat aku serba salah. aku tahu resiko menentang ibu. Tapi aku lebih tahu resiko menentang hatiku.
"Darimana saja kau?! Jam segini baru pulang?! Ibu sudah berkata tadi,  kamu langsung pulang. Udah dikasih tahu ada orang yang mau datang malah tidak pulang ?!" Ibu menumpahkan semua kekesalannya saat itu juga kepada aku. Tak membiarkan aku beristirahat atau minum sekalipun.
"Huft. Apa pentingnya sih pernikahan itu?" Kataku menyemangati diriku dalam hati. Ibu tetap saja membahas keterlambatanku. Tak memberiku kesempatan menjelaskan alasan apapun. Aku menyerah menghadapi sikap ibu.
Malamnya seseorang mengetuk pintu rumahku. Aku melirik jam rumahku sejenak. Hampir jam 20.00 malam. Masih wajar untuk bertamu. Saat aku akan berdiri dari meja kerja rumahku untuk membuka pintu aku sudah mendengar suara bahagia ibuku. Setelah bercakap-cakap pendek dengan tamu itu ibu masuk dan menemui aku,  
"Nak ada tamu, kamu pakai baju yang sopan ya. Buatin minum gih" Ibu berkata dengan manisnya kepadaku. Tapi anehnya aku tak begitu senang dengan sikap ibu yang seperti  ini. Lima menit kemudian aku keluar menuju ruang tamu dengan hidangan dan minuman untuk tamu. Samar-samar aku dengar ibu menyetujui sesuatu. Langkahku tersendat ragu. Mungkinkah??. Sesampainya di ruang tamu aku melihat seorang ibu dan anak lelakinya duduk di ruang tamuku. Keningku dan kening lelaki itu berkerut bersamaan. Mata kami bertemu pandang dalam perasaan tak menentu.
"Aku benci keadaan seperti ini" Ucapku dalam hati. Aku berjalan perlahan mendekati mereka dan menyuguhkan hidangan yang aku bawa.
"Nah ini anak saya bu. Ma'af tadi siang dia pulang terlambat" Kata ibuku dengan senyum yang  berlebihan.
Akhirnya malam itu selesai. Dan akhirnya keputusan ibuku dan ibu lelaki itu sudah bulat. Mereka akan tetap menjodohkan aku dan dia. Aku tak sempat berkenalan dengan lelaki itu. Aku lebih banyak mengalihkan pandanganku kearah lain. Dia sendiri juga tak begitu setuju dengan perjodohan ini. Tapi kenapa dia tak punya kuasa untuk menentang ini semua? Sebelum terjadi.
Keesokan paginya aku membuka mata dengan malas, bangun tidur dengan malas semuanya serba malas. Hari ini hari libur kerjaku setelah satu minggu bekerja. Segala rencana menarik sudah aku susun tadi malam dan hari ini berniat aku jalani. Tapi tiba-tiba seorang wanita 30an datang ke rumah. Dia bercakap-cakap dengan ibuku begitu akrab. Saat aku menampakkan diri dia langsung mengenaliku, dia menyapaku. Aku bercakap-cakap banyak hal dengannya. Ternyata dia yang mengenalkan ibuku dengan keluarga lelaki itu. Dan topik pembahasan terakhir begitu mengagetkanku.
"Hey kau tahu tidak. Orang yang dijodohkan ibumu denganmu sebenarnya..." kata-katanya menggantung tidak jelas. Membuatku semakin penasaran.
"Dia seorang duda tapi tak masalahkan? Toh dia tak punya anak, dia juga masih tampan" Nada bicaranya begitu santai. Aku tersentak dan tak sadar kalau mataku melebar dan menegang. Bahuku lemas seakan dihantam sesuatu yang berat.
"Apa? Duda?" Jeritku dalam hati menyakinkan kalau yang aku dengar tidak salah. Rasa marah menjalari sekujur tubuhku. Aku berusaha meredam rasa marah itu demi nama baik ibu didepan wanita ini. Aku tahu hatiku menangis saat ini. Ternyata keputusan itu memang menyakitkan aku dan hidupku.
"Lalu sekarang apa yang akan aku perbuat?" Tanyaku dalam hati. Hatiku meradang mendengar perkataan mbak Mia yang mengatakan calon suamiku DUDA. Ingin rasanya aku melempar diriku jatuh dari gedung berlantai 10.
"Apakah aku ini tak berharga? Mengapa ibu tega? Sungguh aku tak menyangka". Batinku dalam hati. Mbak Mia terus saja menceritakan kenyataan pahit yang harus aku terima. Menceritakan bagaimana hubungan calon suamiku dengan istrinya. Semakin membuat aku tak mampu membendung air mata. Menerima satu kenyataan pahit lagi membuatku melemah. Semua semangatku luntur begitu saja. Baru saja aku menata hati menerima keadaan tapi sebentar kemudian aku terjatuh lagi.
Sejenak aku meninggalkan mbak Mia dan menghampiri ibu. Aku berusaha sekuat tenaga menahan emosi hati.
"Ibu, kenapa ibu tak pernah berkata kepadaku? Kenapa ibu tak berkata jujur kepadaku? Kenapa ibu menjodohkan aku dengan seorang DUDA??!” Airmata itu menetes. Suaraku tercekat begitu saja. aku terbenam dalam tangis didepan ibu. Dengan langkah ragu aku melihat ibu mendekatiku. Seulas senyum diukir diwajahnya. Senyum yang aku benci. Senyum yang berisi paksaan bahwa aku harus menerima semua keputusannya. Aku merasakan ibu meraihku kedalam pelukannya. Aku merasakan belaian tangannya. Aku merasakan kenyamanan sejenak bersamanya. Tapi setelah dia berkata
"Sudahlah anakku takdirmu memang begini. Cinta itu tidak penting nantipun akan tumbuh seiring adanya waktu. Yang dibtuhkan dalam keluarga hanyalah kesetiaan dan kepercayaan. Jadi airmatamu itu tak berguna." Kata-kata ibu begitu pelan bahkan menyerupai bisikan. Tapi bisikan itu menghujam diriku. Membuatku menegang. Didalam hati aku berfikir.
"Tidakkah aku boleh memilih cintaku sendiri? Rasanya dunia juga tidak mempermasalahkan hal itu, ada apa dengan ibuku?" Aku menyeka airmataku  begitu ibu melepas pelukannya. Aku melihat rona wajah ibu yang santai, seakan ibu tidak mampu melihat kekecewaan besar dalam diri aku.
Mbak Mia tiba-tiba saja mengajak aku pergi kerumah lelaki itu. Ibu juga menyetujui rencana itu. Katanya biar aku dekat dengan keluarga lelaki itu. Kali ini aku paksakan menuruti kata-kata mereka. Mungkin dengan begitu aku bisa sedikit mengurangi rasa kecewa dan menerima kenyataan. Dua puluh lima menit kemudian aku sampai diseberang  jalan rumah calon suamiku. Saat aku turun dari motor,mbak Mia tiba-tiba berkata dengan menunjuk sebuah rumah berwarna hijau tepat didepan rumah calon suamiku.
" Itu adalah rumah bekas istri calon suamimu dek. Tapi sekarang orang itu sudah meninggal. Hem.. Ya begitulah" Bagai seorang pencuri yang mengendap-endap. Aku merasa bagai seorang perempuan pencuri lelaki orang lain. Aku berjalan kearah rumah calon suamiku.
Saat sampai didepan pintu aku ragu untuk mengetuk. aku menoleh beberapa kali kearah mbak Mia. Saat aku mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka dan seorang wanita tua keluar dan menatapku bingung. Sekian detik setelah dia memahami siapa aku dia merangkul dan memeluk aku.  
" Oh calon menantuku datang berkunjung.? Ayo masuk nak" Dengan hangat ibu Mirna menyambutku. Ya Mirna adalah nama calon mertuaku. Setelah mengajakku masuk dan mengobrol sebentar denganku bu Mirna masuk untuk memanggil anaknya "Brian". Nama itu tak asing ditelingaku. Seperti terkena dejavu dengan nama itu. Ini kali kedua aku akan bertemu dengan lelaki itu. Akhirnya dia keluar. Refleks aku melihat dia, aku memasang seulas senyum kepadanya. Dia pun membalas senyumku dengan singkat. Setelah dia duduk disampingku bu Mirna meninggalkan kami berdua. Kesunyian menghampiri kita berdua. Aku melihat dari balik bulumataku dia menunduk lalu mengangkat kepalanya.
" Kenapa kau datang kemari? Ada urusan penting?" Nada bicaranya begitu dingin. Membuat aku merasa bimbang untuk bertanya kebenaran kenyataan yang aku pikirkan. Refleks aku mendengar ucapannya entah mengapa dengan mudah wajahku menoleh kearahnya. Tak aku duga dia juga menatapku dengan tatapan bingung dan ragu. Ruangan ini kembali hening. Kita berdua disibukkan lagi dengan pikiran masing-masing. hening.
"A.Aku datang kesini cuma berkunjung. Toh aku kesini diajak mbak Mia tadi. Kenapa? Kau tak suka kehadiranku? Okelah lebih baik aku pulang saja. Bertemu denganmu cuma membuat aku lebih membenci perjodohan ini." Aku sebenarnya tercengang dengan ucapanku sendiri. Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar dari mulutku. Aku berdiri akan melangkah melewatinya tapi langkahku tersendat tertahan karena lenganku ditahan oleh brian.Refleks aku memandang kearah lenganku yang ditahan oleh Brian. Secara perlahan tapi pasti brian menatapku. Mata hitamnya menatapku begitu dingin. Aku mencoba melepaskan lenganku darinya tapi sia-sia.
"Kenapa harus pulang? Memang aku mengusirmu? Apa aku mengatakan sesuatu yang melukaimu?" Tatapan dingin Brian melebur menjadi tatapan lembut yang menatapku. Jika aku bertemu dengan Brian sebelum perjodohan ini aku pasti sudah jatuh hati kepadanya. Owh tidak, apa yang aku pikirkan? Ini tidak benar. Aku terpaksa duduk kembali masih dengan tatapan ragu Brian menatapku.
Begitu lama aku bercakap-cakap dengan Brian, tak sengaja aku menoleh ke arloji dipergelangan tanganku. Sudah hampir dua jam aku ada dirumah Brian. Percakapan aku dengan Brian memberiku penilaian yang berbeda dengan awal pertemuanku dengannya.
"Hah, aku harus pulang. Ini sudah terlalu lama. Ibuku pasti tambah marah." Kataku seraya berdiri melangkah kearah pintu. Aku teringat sesuatu aku tadi datang kerumah Brian bersama mbak Mia, tapi sekarang dia ada dimana? Wajahku mulai bingung mencari sosok mbak Mia.
"Ehem... Daripada kau kebingungan? lebih baik kau kuantar pulang.. Bagaimana?" Tubuhku berputar memandang kearah Brian dengan bingung.
" Tak usahlah aku bisa pulang sendiri dengan kendaraan umum. Terimakasih sudah menawarkan bantuan." Baru satu langkah aku melangkah. Lagi-lagi Brian menahanku.
"Kenapa kau menolak bantuan dariku? Bukankah aku calon suamimu?" Kata-kata itu menghujam diriku tepat dihatiku. Yah dia benar, dia memang calon suamiku, kenapa aku malah bersikap dingin kepadanya. Aku mencoba melepaskan tanganku dari Brian dan kali ini Brian melepaskan tanganku dan membiarkan aku berfikir. Beberapa detik sebelum aku menjawab perkataan Brian ibu Mirna datang menghampiri kami.
" Lebih baik kamu diantar Brian nak. Daripada kamu pulang sendiri dan keselamatanmu tak terjamin." bu Mirna berkata begitu lembut kearahku menatapku penuh kasih melebihi ibuku sndiri. Ibu Mirna begitu baik kepadaku melebihi ibu kandungku sendiri. ucapan beliau, tatapan beliau begitu melunakkan semua kebencianku terhadap keadaan yang sebelumnya aku benci. Aku menatap nanar kearah ibu Mirna, begitu pula dengan beliau. Dengan ragu aku menoleh kearah Brian. aku berharap Brian akan menolak mengantarkan aku, karena aku sendiri tak ingin lebih jauh terjerembab dalam masalah cinta yang lebih komplek daripada sebelum ini. ibu Mirna tiba-tiba saja mendekat kearahku, membelaiku, menatapku sendu. dalam hati aku benar-benar mengharapkan seorang ibu seperti beliau, tapi hal itu abstrak terjadi. Khayalan itu justru akan menusuk aku sendiri jika hal itu terjadi. Seburuk apapun ibu dimataku, dia tetap ibuku yang mengasihi aku apa adanya di masa aku balita dulu. Aku menatap ragu kearah Brian, seakan meminta persetujuannya. tak aku sangka Brian berkata lain.
" Tak apa ibu aku juga berniat mengantarnya pulang, ibu tenang saja dia aman bersamaku. Aku akan mengantar dia sampai dia benar-benar masuk dan aman di dalam rumah" Seulas senyum mewarnai wajah Brian. Mau bagaimana lagi sekarang aku terjebak diatas dilemaku sendiri. Akupun mengerti benar keinginan hati aku sendiri, tapi aku merasa keinginan pribadiku tak akan mampu aku penuhi disaat ibu Mirna ada di depan mataku. Dengan senyum sumbang aku menanggapi keadaan.
Akhirnya hari ini aku memang pulang diantar oleh Brian.  Perjalanan pulang aku dan Brian hanya ditemani sepi. Tak ada sepatah katapun dari satu sama lain. Aku sibuk dengan pemikiranku sendiri. Dan aku rasa brian juga demikian. Entah apa yang aku rasakan sekarang. Aku merasakan perasaan yang aku sendiri tak mampu menerjemahkannya.
Motor Brian berhenti tepat didekat sebuah taman. Setelah mesin motor mati Brian menunduk sebentar.
" Apa kau akan duduk diam diatas motorku? Kita turun disini sebentar. Aku ingin mengatakan sesuatu" Aku mengikuti Brian turun. Dan berjalan mengikuti kearah bangku taman yang Brian tuju. Tanpa komando aku duduk dibagian bangku yang tersisa. Aku hanya mampu menunduk menunggu Brian mengatakan apa yang akan dia ungkapkan. Aku mampu melihat Brian memandangku ragu dan gelisah dan kembali menunduk. Apa yang brian gelisahkan? Kenapa dia harus gelisah? Hanya pertanyaan itu yang muncul dibenakku.
"Kau tau. Dulu aku pernah memberikan hati aku ke seorang perempuan. Perempuan yang sempurna untuk aku. Perempuan yang mampu mengubah duniaku. Tapi kenyataan berkata lain saat kecelakaan itu terjadi. Andai kejadian dua tahun yang lalu tak terjadi. Andai aku tak meninggalkannya sndiri. Sekarang aku pasti masih bersamanya. Awalnya setelah dia pergi aku tak ingin berurusan lagi dengan cinta. aku tak perduli aku berubah menjadi orang yang dingin dan angkuh. Cintaku hanya ada satu dan itu sudah terkubur bersamanya. Entah kenapa seorang gadis membuatku berang. Seakan aku dirasuki sesuatu melihat kelakuannya. Dia dengan mudahnya menyeberang jalan dengan melamun. Tak peduli keadaannya. Dan sekarang yang aku tahu dia adalah orang yang sama dengan calon istri perjodohanku. Orang yang selalu membuatku penasaran. Dan dia adalah kau"
Aku mendongak menatapnya. Aku berdiri menjajarinya. Sekarang aku tercengang melihat Brian menitikkan airmata. Entah keberanian datang darimana yang merasuki diriku. Sebelah tanganku terangkat dan terarah menyentuh wajah Brian dan menghapus airmatanya. Tersentak aku saat tangan Brian meraih tanganku dengan lembut. Brian menatapku lekat. Dia mengukir senyum diwajahnya,mungkin dia berharap senyum yang muncul adalah senyum bahagia tapi yang aku lihat hanya senyum muram.
" Aku ingin belajar mengalah dengan takdir hidupku. Aku ingin memulainya dari dasar bersamamu." Sejenak aku kaget dengan perkataan Brian. Aku mundur selangkah menjauh dari Brian. Ketakutanku muncul kembali, tak terasa airmataku menetes.Dengan tiba-tiba Brian merengkuhku kedalam pelukannya. Airmataku pecah dalam pelukan Brian. Semua pikiran yang berkecamuk dalam diriku seakan terlepas begitu saja. aku merasa damai dalam pelukan Brian.
" Aku takkan memaksamu untuk menerimaku. Aku hanya ingin mengungkapkan semua hal yang aku pendam selama ini kepadamu. Karena aku merasa kaulah orang yang membuatku membuka mata lagi untuk hidupku." Kata-kata Brian begitu menyentuh relung hatiku. Airmataku semakin deras mengalir. Dan Brian semakin erat memelukku.
"Brian. Aku tak pantas untuk cintamu. Aku tak sesempurna gadismu yang dulu." Aku mendengar sendiri nada suaraku tak beraturan.
"Aku berjanji aku kan mencoba menjadi Brian yang baru untukmu. Aku takkan mengungkit masa laluku. Asal kau berjanji akan selalu bersamaku dan akupun akan berjanji takkan meninggalkanmu” Aku terpekur dalam diam. Aku hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala dan senyuman dalam tangis.

" Terimakasih Brian. Kau telah memberitahuku apa itu cinta sebenarnya."