Sabtu, 29 Maret 2014

Cara Mengatasi Anak yang Pemberontak

Bagi ibu-ibu yang memiliki buah hati atau kamu yang punya adik kecil tapi bandelnya minta ampun. Semakin di larang semakin menjadi-jadi. Kamu sebagai kakaknya pasti jengkel kan, apalagi para orang tua yang  memiliki anak  yang keras kepala! Kamu juga kan pernah jadi anak kecil, tapi gak semua anak kecil itu nakal, bukan…!!
Terus bagaimana menyikapi dan mendidik mereka yang sangat hiperaktif itu menjadi lebih penurut? Berikut tipsnya yah…
Ada masa ketika anak-anak berusia 2-5 tahun menjadi suka melawan dan keras kepala. Ini adalah fase yang sangat alami pada masa pertumbuhan kejiwaan anak, karena ini adalah fase dimana anak-anak mulai menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang independen dari orang-orang dewasa terutama orangtuanya.
Ada satu buku yang menuliskan bagaimana cara menghadapi anak-anak yangkeras kepala dan suka melawan.
Empat Jenis Anak Pemberontak :
1.      Menyukai kontrol.
Dibandingkan anak-anak lain, anak dari golongan ini sangat menyukai kontrol. Mereka mau melakukan apa saja, bahkan sesuatu yang hasilnya berlawanan asal mereka bisa mendapat,mempertahankan, dan merebut kembali kontrol di tangannya.
2.      Memanfaatkan keadaan sekitar.
Biasanya mereka sangat cepat menangkap respons orang lain dan memanfaatkan respons tersebut untuk kepentingan sendiri, baik di lingkungansosial maupun di lingkungan keluarga. Kelak kemampuan membaca reaksi orang lain ini bisa berguna. Tapi bagi anak-anak, kemampuan eksploitifini digunakan untuk memanfaatkan orang lain dan membuat Anda pusing.
3.      Tidak melihat keterlibatan dirinya dalam suatu persoalan.
Bukan hanya tidak melihat dirinya berperan dalam suatu persoalan, tetapi juga meyakinkan diri bahwa orang lain di sekitarnyalah yang dengan sengaja menimbulkan persoalan.
4.      Toleransi tinggi terhadap hal-hal negatif.
Mereka suka membangkitkan kemarahan, dan hal negatif orang lain. Dan sering berhasil melakukan hal tersebut.
Bagaimana pengaruh pola asuh yang memicu sikap memberontak :
Kalau kita berfikir kesalahan hanya ada pada anak, jawabannya adalah tidak. Ternyata orang tua bisa memicu sikap memberontak.
1.      Mengontrol anak sedemikian rupa.
Orang tua jenis ini banyak mengatur dan menuntut terlalu keras kepada anak. Membuat setiap masalah menjadi sesuatu yang terkontrol yang akan menciptakan lebih banyak lagi pertentangan dan pemberontakan.
2.      Memaksakan agar segalanya tenang dan harmonis.
Orang tua jenis tenang ini dengan berbagai alasan akan mengeluarkan uang atau melapangkan hati mereka terhadap batasan-batasan luar yang semuanya untuk menghindari konflik.
3.      Orang tua tipe pencemas.
Orang tua yang yang tidak menegakkan disiplin sebagaimana mestinya kepada anak-anak mereka dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh kekhawatiran.
Lalu apa yang harus kita lakukan supaya bisa mengubah anak bermasalah menjadi pemecah masalah yang baik :
1. Jangan mencoba menanamkan kebijakan Anda kepada anak atau menghalangi mereka untuk mengalami konsekuensi perbuatan mereka sendiri. Anak harus mengalami sendiri bagaimana kehidupan itu sehingga dengan bijak bisa memecahkan persoalannya sendiri.
2. Secara emosional, lepaskan diri Anda dari persoalan, bukan dari si anak. Dengan demikian anak dipaksa memecahkan sendiri persoalannya.
3. Biarkan anak tahu perasaannya sendiri dan bahwa Anda turut bersedih saat mengalami kejadian yang kurang menyenangkan atau menyakitkan.
4. Jangan mencoba merintangi anak dari pengalaman yang tidak menyenangkan atau menyakitkan. Ia perlu merasakan kehidupan untuk dapat belajar sesuatu.
Namun seringkali keributan tidak dapat dihindari. Baik orang tua dan anak masing-masing merasa benar dalam menghadapi suatu persoalan.
Untuk menghentikan keributan tersebut ada lima cara yang perlu kita lakukan :
1.      Tutup Mulut.
Walaupun sangat sulit untuk melakukannya. Biarkan anak menanggung konsekuensi dari perbuatannya. Tahan diri anda untuk tidak berkomentar bahwa perbuatannya salah. Kalaupun harus bicara, batasi sesedikit mungkin.
2.      Gunakan kata-kata pemutus debat.
Dengan kalimat-kalimat pendek yang tegas, Anda menunjukkan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Seperti ” Ya Bapak/Ibu tahu”. tidak kurang tidak lebih. Atau “Terima kasih kalau kamu mau mengerti.”
3.      Tenang.
Jika anak melakukan sesuatu yang tidak semestinya, jangan marah. Tunjukkan rasa sedih sembari memberinya konsekuensi atas perbuatan itu. Kesedihan bisa meredam kemarahan, sedangkan kemarahan akan membangkitkan kemarahan lagi.
4.      Semakin banyak pilihan akan semakin mengurangi keributan.
Berikan kekuasaan untuk mengontrol karena tipe anak pemberontak memerlukan itu - sebatas kewajaran. Biarkan mereka melakukan pilihan yang cocok bagi dirinya.
5.      Jangan katakan “Aku kan sudah bilang“.
Jika anak terluka karena tidak mendengarkan nasehat Anda, jangan menunjukkan pada mereka bahwa Andalah yang benar. Ia akan bisa mengerti dengan sendirinya.
Sebab-Sebab Anak Suka Melawan dan Keras Kepala:
  1. Meniru perbuatan orang tuanya yang juga keras kepala, atau anak sering menyaksikan orang tuanya bertengkar.
  2. Orangtua terlalu memanjakan, selalu memberikan apa yang diinginkannya. Ketika suatu saat keinginan tersebut tidak dipenuhi, tentu anak akan memprotes dan melawan.
  3. Tidak adanya ikatan kasih sayang dan pengertian antara orangtua dan anak.
  4. Orangtua terlalu membiasakannya taat pada sesuatu secara fanatik.
  5. Anak-anak terlalu sering disuruh mengalah, tanpa memberi pengertian yang dapat membuatnya mengerti.
Beberapa orang tua mengeluh tentang sifat anaknya yang keras kepala. Mereka bingung bagaimana cara menasehati mereka. Bila dilarang untuk melakukan sesuatu mereka akan mengamuk, atau bahkan melawan.
Cara menghadapi anak-anak yang suka melawan dan keras kepala:
1.      Lihat diri kita
Kadang kita tidak menyadari bila buah hati kita memiliki hati yang keras, salah satu sebabnya adalah diri kita sendiri. Bila kita memiliki hati yang keras, sukar dinasehati, tentu saja secara tidak langsung itu juga akan menular pada diri buah hati kita. Bila setiap hari buah hati kita melihat hal ini, tentu lama kelamaan buah hati kita akan menirunya. Bila kita saat ini terlalu sombong, marilah kita merendahkan hati kita. Bila kita kurang mau mendengarkan orang lain, maka marilah kita mulai saat ini belajar mendengarkan. Supaya kita pun juga akan semakin mengerti segala kebutuhan buah hati kita, dengan mau dan menyediakan waktu untuk buah hati kita.
2.      Hendaklah lebih fleksibel, lebih memberikan kasih sayang dan pengertian kepada anak.
Kebutuhan seorang anak sebenarnya tidak banyak. Mereka menginginkan perhatian dan kasih sayang kita sebagai orang tua. Kasih sayang dan perhatian yang cukup akan meminimalisir kebutuhan anak-anak pada “materi”. Jadi kalau anak mulai minta ini itu, mudah merengek, dan cepat bosan terhadap apa yang dia beli, itu sebenarnya sebagai ungkapan atau pengaruh dari adanya bagian hati mereka yang kosong. Dan sebenarnya bagian hati yang kosong tersebut hanya bisa diisi dengan kasih sayang dan kehangatan yang ada di dalam sebuah keluarga.
3.      Salurkan Hobinya
Setiap anak tentu memiliki bakat dan minat yang berbeda. Sebagai orang tua kita harus cermat mengerti hal ini. Misalnya bila buah hati kita suka mencoret-coret di atas kertas, mulailah mencoba memasukkan buah hati kita pada sanggar-sanggar melukis. Anak-anak yang normal, biasanya memiliki “kelebihan tenaga”. Itulah kenapa kita sering melihat anak-anak susah untuk diam. Dia akan selalu bergerak, dan mencari keasyikan yang bisa dia lakukan. Jadi arahkanlah “sisa tenaga” yang ada di dalam diri sang buah hati. Hal ini akan sangat bermanfaat supaya emosi mereka bisa diarahkan kepada hal-hal yang positif. Hal ini akan sangat mengurangi pengaruh-pengaruh negatif dari luar yang bisa menyebabkan mereka gampang marah, bosan, sedih, dan sifat-sifat lainnya.
4.      Jadilah orang tua yang bijak
Orang tua yang bijak mempunyai kepekaan terhadap buah hatinya, selalu berusaha melakukan yang terbaik dan memberikan pilihan terbaik kepada sang buah hati. Yang terbaik bagi anak, kadang bukanlah yang terbaik bagi orang tua. Disinilah terkadang kita temukan kesalahpahaman antara orang tua dan anak. Agar pilihan orang tua dan anak bisa selaras, perlu sekali adanya komunikasi  yang intens. Disinilah waktu anda sangat dibutuhkan. Bukan banyaknya waktu yang anda berikan kepada anak, melainkan kualitas kebersamaan anda pada anak. Dari kedekatan inilah, anda akan semakin memahami buah hati anda. Sehingga pemikiran kita dengan sang buah hati kita pun bisa menyatu, dan meminimalisir kesalahpahaman yang biasanya terjadi karena adanya “batas” antara orang tua dan anak. Dan dari kedekatan inilah, anda bisa menasehati anak dengan bijak.
5.      Tidak Mempermalukan Anak di Depan Umum
Saat menasehati anak, akan lebih baik bila kita menasehatinya di tempat yang rahasia dan dengan suara lembut. Jangan memberikan larangan, melainkan himbauan. Jangan berkata,”Kamu tidak boleh menggambar di tembok”, tetapi katakanlah ”Kalau kamu suka menggambar besok mama belikan buku gambar yang besar.” Mengharapkan anak berubah dengan mempermalukan mereka di tempat umum bukanlah cara menasehati yang baik. Karena pada saat itu juga, kita sudah mengajarkan kepada anak kalau mempermalukan orang lain di tempat umum adalah sesuatu yang wajar dan halal.
6.      Tidak Memaksa
Kita harus belajar mengatakan sesuatu kepada buah hati kita dengan lembut tanpa ada unsur pemaksaan. Kita harus belajar mengajak daripada menyuruh. Kenapa? Karena menyuruh berarti meminta seseorang melakukan sesuatu dan itu harus dilakukan sedangkan kita sendiri tidak mau melakukan hal yang sama. Sedangkan mengajak, adalah meminta seseorang melakukan sesuatu dan mau menjadi satu dengan orang yang kita minta dengan prinsip kebersamaan.
7.      Saat Yang Tepat Saat menasehati
Waktu yang tepat adalah sesuatu yang penting dan perlu kita perhatikan pada saat kita hendak menasehati buah hati kita. Pilihlah saat yang tepat dimana kita bisa mentransfer “ilmu moral” kita kepada buah hati kita, tanpa dia merasa terpaksa. Contohnya adalah dengan mengajak sang buah hati untuk jalan-jalan. Setelah dia merasa senang, dan merasa lapar, anda bisa mengajak makan bersama. Dan pada saat itulah anda bisa mengobrol dan mengatakan harapan-harapan anda pada sang buah hati. Misalnya dengan mengatakan,”Mama suka kalau kamu berdandan rapi. Kamu kelihatan cantik sekali.” Atau dengan memujinya,”Wah… Anak mama sudah besar dan tambah dewasa, sudah bisa makan sendiri.” Dengan pancingan-pancingan seperti itu, biasanya anak akan menjadi lebih tertarik untuk mau mendengarkan nasihat anda, sehingga untuk kedepannya mereka pun bisa berubah sedikit demi sedikit.
  • Bersikap seimbang dalam mendidik anak. Tidak terlalu memanjakan, tapi juga tidak terlalu keras.
  • Memberikan hadiah untuk sikapnya yang baik dan memberikan hukuman jika ia melakukan pelanggaran.
  • Senantiasa berusaha untuk membuat hati anak senang dan gembira, tapi tidak berlebihan.
  • Tidak bersikap plin plan, dalam artian tidak menyuruh anak atau membiarkan anak melakukan sesuatu, tapi kemudian melarang anak melakukan hal tersebut di lain waktu.

Bagaimana cara mengatasi anak yang kerasa kepala? Beberapa psikolog mencoba memberi solusinya yaitu :
1.      Jangan Selalu Dituruti Permintaannya
SIFAT keras kepala pada anak sering kali menyusahkan orang tua. Banyak anak yang mengekspresikan keinginannya dengan menangis di depan orang banyak, menjerit, berguling, atau melemparkan mainannya. Para ibu jadi sangat emosi dan tak jarang yang langsung memarahi, bahkan sampai memukul.
Jika dibiarkan terus-menerus, sifat seperti itu memang bisa terbawa sampai dewasa. Meski demikian, bagi orang tua tidak ada kata terlambat untuk mendidik anak dan membentuk karakter yang baik. Caranya dengan melatih mereka membuang sifat buruk, sehingga diharapkan anak akan mampu mengendalikan emosinya jika ia punya keinginan.
Psikolog Tika Bisono menjelaskan, orang tua dapat mengambil langkah-langkah pembelajaran pada anak yang keras kepala. Pertama, orang tua harus tahu apa yang dimaui anak. Apakah yang mereka minta itu merupakan janji orang tua atau bukan. Biasanya, kalau sudah telanjur janji anak akan menagih dengan cara apa pun.
Kedua, harus dianalisis juga bentuk permintaannya, apakah sesuatu yang spektakuler atau tidak, bisa ditunda atau tidak, sesuatu yang benar-benar ia mau atau hanya ikut-ikutan orang lain.
Ketiga, perlu dilihat juga barang yang dia minta itu masih bisa dialihkan menjadi kegiatan yang lain atau tidak. Orang tua harus menimbang-nimbang apakah permintaan itu normal atau tidak, mahal atau tidak dan sesuai waktunya atau tidak. Misalnya, anak ingin membeli es krim, padahal si anak sedang flu. Jelas permintaan seperti itu tidak bisa dituruti karena tidak sesuai dengan waktu.
“Jangan hanya karena malu dilihat orang dengan tingkah laku anak yang meraung-raung memintanya, lantas dikasih. Tapi, ajaklah si kecil berdialog tentang apa yang sesungguhnya dia inginkan. kenapa mau itu? Kenapa harus sekarang? bisa menunggu atau tidak? Awalnya anak keras kepala, tapi lama-lama dia akan belajar untuk membuat atau menyusun sebuah rasionalisasi,” kata Tika.
Lebih lanjut Tika mengatakan, jika anak marah-marah di tempat umum, bawalah anak itu ke tempat lain. Jangan sekali-kali memukulnya, sebab itu akan lebih menarik perhatian banyak orang. Ajak saja ke tempat yang bisa menarik hatinya, seperti ke toko buku atau ke tempat es krim. Kalau sudah tenang, baru dinasihati.
Anak yang keras kepala tidak boleh didiamkan saja, tapi tetap harus direspons. Jika tidak, akan ada dampak-dampak emosional lainnya. Apalagi kemarahan anak itu juga merupakan salah satu bentuk komunikasi yang bisa ia ekspresikan.
Perlakuan orang tua disesuaikan dengan usia dan kapasitas anaknya. Selagi 2-3 tahun, kemauan anak masih lebih mudah dideteksi. Kemarahannya pun masih bisa ditoleransi sebatas dia mengemukakan keinginannya. Saat itulah orang tua bisa negosiasi dengan apa yang anak mau. Dengan begitu anak akan banyak belajar.
“Jangan sampai saat besar anak jadi tidak cermat memenuhi kebutuhan hidupnya, mengendalikan diri, keinginan, dan harapannya. Sekarang ini kan banyak orang dewasa yang jika ingin sesuatu harus saat itu juga dipenuhi, tanpa berpikir panjang dan tidak peduli dengan hidupnya esok hari,” ujarnya.
2.      Harus satu kesepakatan
Sementara itu, psikolog anak Shinto Adelar mengatakan, ibu dan ayah harus sepakat dan konsisten dalam memberi perlakuan pada anak. Jangan sampai anak merengek pada ayahnya ketika ia tidak dituruti ganti merengek pada ibunya dan kemudian dituruti.
Shinto mengakui, memang banyak orang tua yang menganggap sikap keras kepala anak seperti itu tidak masalah dan akan hilang sendiri kalau anak sudah besar. Tapi bagi Shinto tidak begitu, karena karakter yang tertanam sejak kecil seperti meminta sesuatu sambil marah atau menangis keras-keras akan terbawa hingga dewasa dalam bentuk yang berbeda.
“Sampai dengan umur berapa pun, kalau ia ingin sesuatu ia akan ngambek, misalnya dengan mengunci diri dalam kamar. Pokoknya dengan cara lain yang sifatnya memaksa sehingga ia akan memperoleh apa yang ia inginkan. Karena itu, harus diarahkan dari awal, karena kalau didiamkan akan sulit mendidiknya ketika ia besar,” tuturnya.
Anak keras kepala memang terkadang membuat orang tua merasa malu. Itulah yang biasanya memicu kemarahan, karena orang tua frustrasi melihat sikap anaknya. Sudah diperlakukan macam-macam tapi anak tetap marah-marah, berguling-guling dsb. Padahal sebetulnya, amarah itu tidak akan menyelesaikan masalah.
“Ibu bisa bilang, ‘Buat apa jerit-jerit, diam! Kalau enggak diam ibu enggak mau denger apa pun yang kamu bilang’. Lalu, jauhi dia tapi sambil terus dipantau. Kalau sudah agak tenang, ajari dia cara meminta sesuatu itu harus dengan cara yang baik, bukan dengan marah-marah dan melakukan hal yang buruk apalagi di depan umum. Karena cara itu sama sekali tidak akan berhasil,” kata Shinto memberi salah satu contoh menangani anak keras kepala.
Menurutnya, konsistensi dan ketegasan orang tua akan membuat anak mengerti bahwa dengan bertingkah macam-macam tidak mungkin keinginannya dipenuhi dengan mudah. Kalaupun orang tua memenuhi keinginannya, itu karena terpaksa, sebab merasa malu anaknya menjerit-jerit atau marah di depan orang lain.
Cara lainnya, tutur Shinto, sebelum pergi jalan-jalan ke supermarket, misalnya, perlu dilakukan langkah pencegahan. Misalnya, anak diberi tahu kalau ia hanya boleh membeli barang A atau B, selain itu tidak boleh. Atau bisa juga dibuat perjanjian, boleh membeli mainan tapi sebulan sekali.
Perilaku anak yang marah sambil mengamuk-ngamuk jika dilakukan oleh anak berusia lebih dari empat tahun itu berarti di luar kewajaran. Kalau di bawah empat tahun masih bisa diterima, tapi itu pun harus diatasi dengan cara mendidik anak di rumah. Untuk anak yang lebih dari empat tahun, Shinto menyarankan agar orang tua tidak memenuhi keinginannya alias tetap menunjukkan sikap. Dengan demikian lama-kelamaan anak akan mengerti bahwa cara yang dia lakukan tidak benar. Selain itu, caranya ternyata juga tidak ampuh untuk merayu orang tua agar mengabulkan keinginannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar