Pandangan Islam Tentang Musik dan Nyanyian
DISUSUN OLEH :
NISA FITRIANI MA’RUFAH (1201413023)
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
senantisa memberkati penulis dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga penulis bisa menyelesaikannya tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen, teman–teman, dan
semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini, khususnya
terima kasih kepada Bapak Khamidun sebagai dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang membimbing dan mengarahkan penulis dalam membuat dan menyelesaikan makalah ini..
Penulis membuat makalah ini, bertujuan untuk menjelaskan pandangan islam terhadap musik dan
nyanyian. Karena melihat begitu maraknya gosip bahwa memainkan musik
atau yang berhubungan dengan seni musik itu adalah haram. Oleh karena itu dalam makalah ini akan
dijelaskan mengenai apa pandangan islam tentang
musik dan nyanyian.
Selaku manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan
dan kekeliruan yang tidak disengaja. Oleh karena itu penulis membutuhkan kritik dan saran untuk menyempurnakan pembuatan
makalah selanjutnya. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, khususnya dalam bidang Agama Islam.
BAB
I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan,
kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam
bermain musik atau bernyanyi.Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau
kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta
tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit
atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di
tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil,
generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau
penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset,
VCD, dan berbagai media lainnya.
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan
jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas
reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan
yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah
Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap
kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat
penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan
kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini
tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak
demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita
jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi
sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah
bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai
proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul
waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia
disebutkan bahwa seni adalah
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan
dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh
indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan
dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat
musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas
antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi
bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri
sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni
vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang
diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni
yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara
saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan
dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan
alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya.
Tinjauan Fiqih Islam
Ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan
dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
disajikan tinjauan fiqih Islam berupa
kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan
bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
1.
Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan
nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya
sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul
Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’
bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim
Istima’ Lahu juga oleh Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal.
27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki
dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A.
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di
antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
(lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian,
musik atau lagu, di antaranya al-Hasan,
al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil
pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm
[53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]:
64
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya
akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan
alat-alat musik (al-ma’azif).”
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah)
dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian
beliau membacakan ayat di atas.
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw
bersabda:
“Nyanyian
itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang”
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw
bersabda:
“Orang
yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi
dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia
berhenti.”
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“Sesungguhnya
aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian
yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2.
Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan
merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B.
Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra.
Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya
dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab
tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu
beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa
orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji
orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara
mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi
Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw
bersabda:
“Tinggalkan
omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan
seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa
tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.”
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar
melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka
Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku
pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu
(yaitu Rasulullah Saw)”
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas
(dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu
melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk
menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam
asy-Syafi’i mengatakan bahwa
tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan,
di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua
hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya
hukum umum, atau salah satunya global (ijmal)
sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir).
Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh
(penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil
hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan
kompromi (jama’) di antara keduanya,
bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu
semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya.
Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan
menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh
Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal
bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan
dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada
meninggalkan salah satunya.”
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada
dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak
diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada
dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.”
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah
bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan,
menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau
peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat
pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian
secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian
secara muqayyad (ada batasan atau
kriterianya)
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian
ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan
nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik
berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina,
penampakan aurat, ikhtilath (campur
baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya
mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme,
liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian
halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang
kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya
nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani
Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan
keindahan alam semesta, dan
2.
Hukum Mendengarkan Nyanyian
a.
Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan
hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu
(at-taghanni bi al-ghina’) dengan
mendengar lagu (sama’ al-ghina’).
Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl
(perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i).
Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang
muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan
kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan
sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa
dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu
fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah
“Hukum asal perbuatan-perbuatan
jibiliyyah, adalah mubah.”
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan
jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah).
Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu,
kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus
untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’.
Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya
melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar
termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar
suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara
binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini
ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat,
maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan
tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh
memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya
adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf
nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian.
Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu.
Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi
jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan
berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa
saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan
tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya
(ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai).
Dan itu adalah selemah-lemah iman.”
b.
Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’
al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar
nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum
lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara
mendengar (as-sama’) dengan
mendengar-interaktif (istima’).
Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’)
adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses
menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’
li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya
berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada
dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang
penyanyi. Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’
al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri
nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan
perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara
interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak
mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh
mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian
secara interaktif (istima’ al-ghina’)
dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram
(misalnya ada ikhthilat) karena
disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah hara. Allah SWT berfirman:
“Maka
janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang
lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka
janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi
peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
3.
Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik,
seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara
tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan
kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff
atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda
Nabi Saw:
“Umumkanlah
pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal)
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal,
maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang
menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani
hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan
sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang
shahih, seperti Ibnu Shalah dalamMuqaddimah
‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi
dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu
Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam
Ibnu Hajar dalamTaghliqul Ta’liq, as-Sakhawy
dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani
dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyahdan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak
lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin
al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju
dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’
Imam
Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal.
59 mengatakan:
“Jika
belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita
perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat
musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak”.
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun,
adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang
mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika
tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
4.
Hukum Mendengarkan Musik
a.
Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat
juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung
pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan
mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada
tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau
kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah
b.
Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal.
74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki
(Al-Khalash
wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui
media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik
secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada
dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal
pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam
hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai
hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu
fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum
asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang
mengharamkannya.”
Namun demikian, meskipun asalnya adalah
mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada
perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah
menetapkan:
Al-wasilah
ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang
haram, hukumnya haram juga.”
PENUTUP
Demikianlah kiranya
apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum musik dan nyanyian dalam pandangan
Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka
dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan
dan koreksi.
Penulis sadari bahwa
permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan
dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat
penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi walau pun cuma
secuil dalam
upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi
pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita
idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin.
Wallahu a’lam bi
ash-showab.
DAFTAR PUSTAKA
UNTUK VERSI POWERPOIT, SILAKAN KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar