MAKALAH
PENDIDIKAN PANCASILA
DISUSUN
OLEH
NISA
FITRIANI MA’RUFAH
1201413023
PENDIDIKAN
LUAR SEKOLAH
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas
kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi
kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada
dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberi dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin ..
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Undang-undang nomer 7 tahun 1945 telah mengatur bahwa masa jabatan
eksekutif berlaku selama lima tahun, dan hanya dapat terpilih satu periode
setelah masa tersebut habis. Undang-undang ini dibuat untuk mencegah adanya
kekuatan absolut yang terus menerus. Beberapa golongan yang telah lama
berkuasa, kebanyakan akan mencari cara untuk lolos dari undang-undang ini dan
tetap mempertahankan kekuasaannya di strata atas elit politik.
Hubungan
Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah dengan Wakil Gubernur Rano Karno dikabarkan
retak. Keretakan hubungan kedua orang berkuasa di Banten ini membawa cerita
lama akan dinasti politik
Ratu Atut di Banten yang sejak dulu dikritik banyak kalangan. Kalau bicara dinasti politik yang paling sempurna yang ada
di Banten tapi kondisi politik dinasti di Banten seperti ini tampaknya kurang
mendapat perhatian warga masyarakat Banten. Buat masyarakat banten, bupati baik
atau tidak itu biasa saja. Toh kepentingannya dengan pemerintah hanya pada saat
mengurus KTP, praktis nggak ada hubungan lain dengan pemerintah. Paling adapun
kebutuhan pun dengan uang beres.
Kasus ini menjadi momok yang menarik, terutama apabila kita melihatnya
dalam kacamata demokrasi sosial. Penulis akan membahas mengenai permasalahan
ini lebih jauh dalam bab II.
B. PERUMUSAN MASALAH DAN RUANG
LINGKUP
Masalah-masalah di dalam makalah ini
dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan:
1. Apakah dinasti politik?
2. Faktor apa saja yang mendorong
terjadinya dinasti politik?
3. Mengapa banyak penguasa yang
melakukan dinasti politik?
4. Manfaat dan kerugian apa yang
ditimbulkan oleh dinasti politik?
C. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk meneliti
lebih lanjut tentang dinasti politik yang terjadi di Indonesia dan bagaimana
tanggapan kita seharusnya pada hal tersebut. Selain itu, makalah ini ditulis
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara aplikatif penulisan Makalah
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para mahasiswa sebagai bahan kajian serta
referensi untuk penelitian selanjutnya
b. Secara praktis penulisan Makalah
ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan cakrawala pemikiran penulis
terutama pembaca pada umumnya.
D. METODE ANALISIS
Makalah ini disusun atas dasar
tersedianya data dan informasi yang relevan dengan masalah yang akan dibahas,
untuk mendapatkan data dan informasi menganai suatu masalah dalam melaksanakan
kegiatan ini, penulis menggunakan cara mengumpulkan data melalui sumber
internet.
E. HIPOTESIS
Praktek dinasti politik disinyalir
penulis sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan kekuasaan. Kedudukan dalam
pemerintahan akan ditanggalkan dalam batas waktu tertentu, hal ini menyebabkan
beberapa golongan menginginkan status quo agar golongannya bisa tetap berada di
posisi atas. Semakin tinggi posisinya, maka akan semakin besar juga kemungkinan
untuk melakukan dinasti politik.
Pencalonan bupati Kediri yang
dilakukan Sutrisno kemungkinan merupakan sebuah permainan politik dalam badan Pemerintahan
Kediri sendiri. Sebab apabila salah satu istri dari Sutrisno menjabat, akan ada
kemungkinan bahwa staf pemerintahan lama akan mendapat kemudahan menjabat lagi.
Hal ini dapat menyebabkan sebuah kerjasama dalam pelaksanaan dinasti politik,
tidak hanya di bidang eksekutif, namun juga di dalam badan pemerintahannya
sendiri.
BAB II
ISI
POLITIK DINASTI
Apakah wajar apabila jabatan seorang kepala pemerintahan diteruskan oleh
istri, anak , atau kerabat dekatnya? Di negara kita sedang terjadi praktek
penerusan kekuasaan pada orang-orang terdekat. Politik dinasti adalah fenomena
politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang
sedang berkuasa. Dinasti politik yang dalam bahasa sederhana dapat
diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang
dijalankan secara turn-temurun atau dilakukan oleh salah keluarga ataupun
kerabat dekat. Rezim politik ini terbentuk dikarenakan concern yang
sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya
orientasi dinasti politik ini adalah kekuasaan.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya adalah sebuah hal yang jarang
sekali dibicarakan atau menjadi sebuah pembicaraan, padahal pada prakteknya
dinasti politik secara sadar maupun tidak sadar sudah menjadi benih dalam
perpolitikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Dinasti politik sebenarnya
adalah sebuah pola yang ada pada masyarakat modern Barat maupun pada masyarakat
yang meniru gaya barat. Hal ini dapat terlihat dalam perpolitikan di
Amerika dan juga di Filipina. Dinasti politik tidak hanya tumbuh di kalangan
masyarakat demokratis-liberal. Tetapi pada hakikatnya dynast politik juga
tumbuh dalam masyarakat otokrasi dan juga masyarakat monarki, dimana pada
system monarki sebuah kekuasaan sudah jelas pasti akan jatuh kepada putra
mahkota dalam kerajaan tersebut.
Dinasti politik di Indonesia sebenarnya sudah muncul di dalam keluarga
Presiden pertama Indonesia, Preseiden Soekarno. Hal tersebut terbukti dari
lahirnya anak-anak Soekarno yang meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai seorang
politisi. Seperti Megawati Soekarno Putri (yang akhir-akhir ini juga semakin
memperlihatkan gejala kedinastian politik Indonesia pada diri anaknya –Puan
Maharani), Guruh Soekarno Putra, dll. Dalam tatanan kontempoerer, dinasti
politik juga sekarang terlihat muncul pada diri keluarga mantan Presiden
Indonesia Alm K.H. Abdurrahman Wahid, dengan munculnya saudara-sudara
kandungnya dan juuga anak kandungnya ke dalam dunia perpolitikan Indonesia.
Kecenderungan dinasti politik juga ditunjukkan dalam keluarga Presiden
Indonesia saat ini Susilo Bambang Yudhoyono, yang ditunjukkan dengan kiprah
anaknya Eddie Baskoro yang berhasil menjadi anggota DPR periode 2009/2014.
Etika adalah sesuatu yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai sesuatu
yang baik dan yang buruk. Ada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat,
nilai tentang sesuatu yang pantas untuk dilakukan dan tidak pantas untuk
dilakukan. Bila dianalisis dari segi etika, politik dinasti tidak baik apabila
dilakukan oleh elit politik.
Kalau seseorang elit politik maju dengan mengandalkan politik dinastinya
dan dengan mengesampingkan etika sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah akan terus merosot. Rakyat akan menilai ternyata bangsa ini
di zaman reformasi dibangun dengan sistem nepotisme. Pembentukan
politik dinasti akan menciptakan tatanan politik yang tak sehat. Walaupun
menurut undang-undang hal itu tak dilarang, namun hal itu dinilai tidak sesuai
dengan etika.
Menurut Zulkieflimansyah, apabila politik dinasti ini diteruskan, akan
muncul banyak dampak negatif. Pertama, menjadikan partai sebagai mesin
politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak
ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih
didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini
kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau”
atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya
kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi
kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga
sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan
dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya
pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol
kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya
penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek
negatif dari dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme
dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan.
Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak
dipakai karena alasan masih keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan
menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak
mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.
Adik Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana resmi ditahan dan digelandang
ke rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Wawan diduga menyuap Ketua MK
Akil Mochtar terkait perkara sengketa Pilkada Lebak, Banten.
Penangkapan ini semakin menguatkan
dugaan korupsi dalam dinasti politik yang dibangun Ratu Atut. Bicara soal
dinasti, sudah menjadi cerita lama sejumlah anggota keluarga Ratu Atut tercatat
menduduki posisi strategis di lingkungan Pemprov Banten dan juga di lembaga
legislatif, baik di tingkat provinsi maupun pusat, telah menimbulkan debat
hangat soal praktik politik dinasti dan dinasti politik. Dinasti politik Ratu
Atut disorot tajam karena dianggap melanggengkan kembali praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang telah digusur oleh reformasi. Ratu Atut sendiri
telah diperiksa oleh KPK terkait kasus suap Akil.
Namun, terlepas
dari kasus hukum yang tengah dihadapi salah satu kerabat gubernur Banten itu,
kita sebaiknya jangan cepat menjatuhkan palu godam bahwa itu adalah khas
dinasti politik Ratu Atut. Sejujurnya, politik dinasti dan dinasti politik
bukan hanya fenomena Ratu Atut di Banten. Praktik politik yang kental dengan
sistem kekerabatan (kroniisme dan nepotisme), adalah fenomena umum Indonesia
sejak pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung mulai digelar pada 2005.
Anak dan istri yang menggantikan ayah dan suami mereka untuk memimpin daerah
sejak lama sudah menjadi cerita umum.
Kementerian
Dalam Negeri bahkan telah mencatat setidaknya ada 57 pergantian kepala daerah
petahana, yang berputar hanya dalam satu garis keturunan: dari suami ke istri,
ayah ke anak, kakak ke adik atau keponakan, dan seterusnya. Atau, jika sang
kakak atau suami berada pada posisi sebagai gubernur, sang adik atau keponakan
yang bertarung dalam pemilihan bupati akan dengan mudah meraih jabatan
tersebut. Hampir di semua ajang pilkada, bila suami sudah menyelesaikan masa
tugasnya sebagai kepala daerah, maka sang istri seolah-olah
"terpanggil" ikut meneruskan jejak kepemimpinan keluarga dalam
politik.
Sebut saja
contoh keluarga Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ichsan
Yasin Limpo, yang kini Bupati Gowa adalah adik kandung sang gubernur. Di
Sulawesi Utara, ada Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang yang adalah putra
Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang. Wali Kota Padang Sidempuan, Sumatera
Utara, Andar Amin Harahap adalah anak Bupati Padang Lawas Bachrum Harahap.
Masih ada sederetan panjang daftar pimpinan daerah yang berganti kedudukan
karena pola kekerabatan yang begitu kental.
Itu pada
lingkaran kekuasan eksekutif. Pada lingkaran kekuasaan legislatif, praktik yang
sama juga marak terjadi. Adalah hal umum bahwa ayah yang gubernur atau bupati
bisa dengan bersemangat mendorong sang istri atau putra-putrinya untuk bertarung
dan merebut kursi di DPR atau DPRD.
Berikut anggota keluarga Ratu Atut yang
menduduki posisi strategis:
1. Suami Ratu Atut, Hikmat Tomet merupakan Ketua DPD Partai Golkar
Banten. Kini duduk sebagai anggota Komisi V DPR. Hikmat kembali mengikuti pencalegan
untuk Pemilu 2014 dari dapil Banten 2 (Kabupaten Serang, Kota Serang dan kota
Cilegon)
2. Anak pertama Ratu Atut, Andika Hazrumy berstatus anggota DPD yang kini mencalonkan diri sebagai anggota DPR di dapil Pandeglang-Lebak.
3. Adik Andika, yakni Andiara Aprilia Hikmat kini mencalonkan diri sebagai anggota DPD
4. Menantu Ratu Atut, istri Andika, yakni Ade Rosi Khaerunissa menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Serang. Dia pun mendaftar sebagai caleg DPRD Banten dari Partai Golkar
5. Kakak kandung Ratu Atut, Tatu Chasanah merupakan Wakil Bupati Serang
6. Kakak tiri Ratu Atut, Haerul Jaman adalah Walikota Serang
7. Adik ipar Ratu Atut, Airin Rachmi Diany merupakan Walikota Tangerang Selatan
8. Ibu tiri Ratu Atut, Heryani menjabat sebagai Bupati Pandeglang.
2. Anak pertama Ratu Atut, Andika Hazrumy berstatus anggota DPD yang kini mencalonkan diri sebagai anggota DPR di dapil Pandeglang-Lebak.
3. Adik Andika, yakni Andiara Aprilia Hikmat kini mencalonkan diri sebagai anggota DPD
4. Menantu Ratu Atut, istri Andika, yakni Ade Rosi Khaerunissa menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Serang. Dia pun mendaftar sebagai caleg DPRD Banten dari Partai Golkar
5. Kakak kandung Ratu Atut, Tatu Chasanah merupakan Wakil Bupati Serang
6. Kakak tiri Ratu Atut, Haerul Jaman adalah Walikota Serang
7. Adik ipar Ratu Atut, Airin Rachmi Diany merupakan Walikota Tangerang Selatan
8. Ibu tiri Ratu Atut, Heryani menjabat sebagai Bupati Pandeglang.
Tapi, di manakah
letak persoalan sesungguhnya dan mengapa hal itu sampai terjadi? Itulah dampak
samping dari reformasi politik yang tak diimbangi oleh reformasi hukum dan
perundang-undangan. Reformasi bidang politik bergerak begitu cepat seperti
meteor, tapi sebaliknya, reformasi bidang hukum dan perundang-undangan berjalan
lamban seperti siput.
Hukum sangat
lemah, tidak hanya dilihat dari sisi produk, tapi juga pengawasannya di
lapangan. Dari sisi produk, tak sedikit undang-undang yang dihasilkan pemerintah
dan DPR harus diuji-materikan di Mahkamah Konsitusi hanya karena sejumlah
pasalnya tak sinkron atau bahkan bertentangan dengan isi konstitusi. Begitu
pula banyak UU yang dihasilkan ternyata isinya bertentangan antara satu dengan
lain.
Produk hukum dan
perundang-undangan yang lemah ini dimanfaatkan secara cerdas oleh mereka yang
memang sudah punya syahwat kekuasaan yang besar. Kelemahan hukum di satu sisi
dan kebebasan berpolitik yang begitu luas di sisi lain, juga menjadi celah yang
dimanfaatkan dengan amat baik oleh para aktor politik yang memiliki segala
akses untuk meraih uang dan menggapai kekuasaan. Lahirlah kemudian praktik
politik dinasti yang--dengan jaringannya yang kuat--menjalani politik balas
budi, politik uang, dan politik melanggengkan kekuasaan.
Sialnya, dari
situlah lahirlah praktik-praktik politik yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Lihatlah dinasti politik Ratu Atut di Banten dan dinasti-dinasti
politik lainnya di Indonesia. Dengan banyak uang di tangan, mereka bisa dengan mudah
membeli kekuasaan dengan memanipulasi suara.
Demi sehatnya
kehidupan berbangsa dan bernegara, dan demi lahirnya pemimpin negara dan daerah
yang berintegritas, praktik-praktik seperti itu harus segera dihentikan. Itu
semua harus dimulai dengan mengubah dan menyehatkan produk hukum dan
perundang-undangan. Produk hukumlah yang harus mendorong dan memastikan bahwa
kekuasaan tidak boleh dibangun atas dasar hubungan kekerabatan, tapi didasarkan
pada kualifikasi yang dimiliki seseorang, yakni kompetensi, kapabilitas,
integritas, dan moralitas yang dimilikinya.
Sosok-sosok
pemimpin daerah berkualitas sepert itu hanya bisa dihasilkan melalui pilkada
yang bebas, jujur, adil, bersih, serta diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) yang bebas dari kepentingan politik dan uang. Sekali lagi,
ini hanya bisa tercipta melalui penguatan produk hukum disertai penegakan dan
pelaksanaannya yang ketat di lapangan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Politik
dinasti sudah mulai marak di Indonesia, terutama pada pencalonan kepala daerah
di Kabupaten/Kota. Tidak jarang calaon yang maju sebagai kepala daerah
mempunyai hubungan kekerabatan dengan kepala daerah yang sedang menjabat.
Contoh yang paling nyata adalah di Kediri, Jawa Timur. Dua calon yang maju
dalam pemilihan kepala daerah adalah istri-istri dari Bupati yang sedang
menjabat. Hal ini jelas menunjukkan adanya politik dinasti.
Politik
dinasti memunculkan banyak pro dan kontra. Ada yang menganggapnya baik karena
kestabilan politik terjaga dan banyak pula yang menganggap bahwa politik
dinasti hanyalah alat yang digunakan para pejebat untuk melanggengkan
kekuasaannya. Selain itu, politik dinasti juga mengurangi kesempatan bagi orang
lain untuk berpartisipasi lebih untuk menjadi kepala daerah karena biasanya
calon pemimpin hasil dari politik dinasti lebih banyak dukungan.
Memang, hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Tapi apakah
dengan hanya berbekal mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa seseorang
dapat dengan leluasa mencalonkan diri? Inikah yang harus diperbaiki oleh
pemerintah agar calon yang maju dalam pemilihan kepala daerah tidak hanya
berdasarkan koneksi dan kesempatan tetapi juga didukung dengan kualifikasi yang
mumpuni untuk menjadi kepala daerah sehingga memajukan daerah yang dipimpinnya.
B. SARAN
Dari
berbagai pembahasan dan kesimpulan diatas, saran yang dapat diberikan dari
kelompok kami adalah :
·
Dibuatnya regulasi yang
persyaratan pencalonan kepala daerah sehingga mempunyai kualifikasi yang
memadai.
·
Diadakan tes, baik secara
tertulis maupun lisan berupa fit and proper test untuk menilai
kemampuan calon kepala daerah dalam berbagai bidang, sehingga didapat calon
kepala daerah yang tidak hanya berbakat dalam memimpin, tetapi juga mempunya
dasar dan kompetensi yang cukup untuk menjadi kepala daerah.
·
Meningkatkan tingkat
perhatian dan partisipasi dari masyarakat sehingga sadar dan berpartisipasi
lebih dalam menentukan pilihan mereka terhadap para calon kepala daerah
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar